Kamis, 16 Desember 2010

Nasionalisme dan Patriotisme di era Global

MEMBANGUN SEMANGAT NASIONALISME DAN PATRIOTISME DI ERA GLOBAL


Pergeseran Makna
Menjelang perayaan peringatan 65 tahun Proklamasi Kemerdekaan RI beberapa waktu dekat ini, muncul kembali diskusi tentang nasionalisme, patriotisme, dan semangat kebangsaan. Meskipun tidak sehangat yang terjadi di masa-masa sebelumnya, diskusi mengenai nasionalisme di masa sekarang kembali berada pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih subtantif dan mendasar. Hal ini sama sekali berbeda dengan pembahasan nasionalisme yang terjadi di masa awal kemerdekaan dan masa Orde Baru. Pada masa awal kemerdekaan hingga Orde Baru, pembahasan mengenai nasionalisme masih menggunakan konteks sejarah Perang Dunia II. Dengan konteks tersebut pembahasan nasionalisme dan patriotisme bukanlah suatu yang njlimet karena masih menggunakan perspektif yang sederhana.
Kini, ketika globalisasi dan berkembangnya teknologi informasi telah mengakibatkan kaburnya batas-batas antar negara (baik secara politik, ekonomi, maupun sosial), masalah nasionalisme dan patriotisme tidak lagi dapat dilihat sebagai masalah sederhana yang dapat dilihat dari satu perspektif saja. Dalam dunia yang oleh sebagian orang disifatkan sebagai dunia yang semakin borderless, banyak pengamat yang mulai mempertanyakan kembali pengertian negara beserta aspek-aspeknya.
Contoh nyata yang menarik dapat diambil dari kasus berikut: sekitar awal 1999 terjadi unjuk rasa kecil yang dilakukan sekelompok ormas terhadap LSM yang konsen pada masalah HAM. Para pengunjuk rasa menuding para aktifis LSM tersebut tidak memiliki jiwa nasionalisme karena dinilai telah menjadi agen kepentingan asing di Indonesia. Para pengunjuk rasa melihat bahwa sebagian besar atau seluruh aktifitas LSM-LSM tersebut mendapat dukungan dari lembaga donor asing. Sebagai konsekuensinya, LSM-LSM tersebut harus menjalankan agenda yang menjadi “titipan” lembaga asing tersebut. Akibatnya, beberapa persoalan dalam negeri Indonesia kemudian menjadi sorotan internasional. Mereka membeberkan beberapa kasus yang mereka nilai sebagai pelanggaran HAM berat. Citra Indonesia pun menjadi tercemar di pergaulan internasional. Bahkan, lepasnya Timor Timur dari NKRI merupakan andil dari LSM-LSM tersebut.
Dalam unjuk rasa tersebut, salah seorang pimpinan LSM meminta beberapa orang perwakilan pengunjuk rasa untuk masuk ke ruangan untuk diajak berdialog. Selepas berdialog, sang pemimpin LSM didampingi perwakilan pengunjuk rasa kemudian berorasi di depan para pengunjuk rasa. Dengan berapi-api, sang pimpinan LSM menyampaikan bahwa dia dan teman-teman juga memiliki rasa nasionalisme. Namun pengertian nasionalisme yang mereka pahami tidaklah sama dengan yang disampaikan pengunjuk rasa. Kiprah mereka selama ini di LSM justru merupakan perwujudan nasionalisme mereka. Mereka ingin agar Indonesia setaraf dengan negara lain, terutama dalam masalah penghormatan terhadap HAM. Setelah mendengarkan orasi tersebut, para pengunjuk rasa terlihat masygul dan mereka pun pulang tanpa dapat berkata-kata lagi.
Kejadian tersebut merupakan bukti betapa persoalan nasionalisme dan patriotisme telah memiliki logika yang tidak lagi sederhana sebagaimana dipahami di masa-masa sebelumnya. Jika menggunakan perspektif lama, tudingan rendahnya nasionalisme yang diarahkan terhadap para aktifis LSM tersebut sebenarnya cukup masuk akal dan didasari fakta. Namun ketika dilihat dalam perspektif globalisasi, logika tersebut gampang sekali dipatahkan.
Persoalan nasionalisme dan patriotisme di era global sebenarnya bukan hanya masalah yang dialami oleh Indonesia. Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya dengan kekuatan politik, ekonomi, budaya, dan hankam yang tak tertandingi pun harus berdaya upaya sekeras-kerasnya dalam membangun semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan warganya. Demikian pula dengan negara-negara lain. Bahkan Malaysia, misalnya, beberapa waktu belakangan ini tengah ramai diskusi dan program tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme di negara tersebut.
Jika kita menuliskan kata-kata: “patriotisme” atau “semangat kebangsaan” di program pencarian situs internet (seperti: Google), maka hampir sebagian besar dipenuhi situs-situs dari negeri jiran tersebut. Situs-situs dari Malaysia ini tidak hanya berasal dari kementerian dalam negeri atau departemen pertahanan di sana, tetapi juga dari departemen pendidikan, organisasi politik, lembaga kajian, dan swasta. Sedangkan situs dari Indonesia hanya sedikit, rata-rata berasal dari situs TNI, Dephan, atau Bappenas. Itupun sebagian merupakan arsip dari GBHN atau Repelita di masa Orde Baru.
Memperhatikan kenyataan di atas dimana masalah pembangunan nasionalisme dan patriotisme saat ini tengah menghadapi tantangan yang berat, maka perlu dimulai upaya-upaya untuk kembali mengangkat tema tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme. Apalagi di sisi lain, pembahasan atau diskusi tentang nasionalisme dan patriotisme di Indonesia justru kurang berkembang (atau mungkin memang kurang dikembangkan).
Beberapa Pandangan tentang Nasionalisme dan Patriotisme
Nasionalisme adalah masalah yang fundamental bagi sebuah negara, terlebih-lebih jika negara tersebut memiliki karakter primordial yang sangat pluralistik.Klaim telah dicapainya bhinneka tunggal ika, apalagi lewat politik homogenisasi,sebetulnya tidak pernah betul-betul menjadi realitas historis, melainkan sebuah agenda nation-building yang sarat beban harapan. Oleh sebab itu, ia kerap terasa hambar.
Dengan penafsiran tersendiri, ini merupakan bentuk imagined society seperti istilah Benedict Anderson. Benedict Anderson (1999) menggunakan istilah imajinasi untuk menggambarkan kemiripan makna tentang fantasi. Penjelasannya lebih condong menggunakan analisis sejarah politik untuk menjelaskan kaitan antara imajinasi kolektif yang mengikat suatu komunitas. Orang disatukan sebagai suatu negara karena persamaan identitas darah, ideologi, dan kepentingan. Kalau mau jujur, gagasan Indonesia sebagai negara adalah produk kolonialisme. Kesatuan teritori dagang di bawah Belanda, Inggris, kemudian diambil alih Jepang dan diwariskan ke pemerintahan bersama warga lokal yang bernama Indonesia.
Indonesia adalah laboratorium sosial yang sangat kaya karena pluralitasnya, baik dari aspek ras dan etnis, bahasa, agama dan lainnya. Itu pun ditambah  status geografis sebagai negara maritim yang terdiri dari setidaknya 13.000 pulau. Bahwa pluralitas di satu pihak adalah aset bangsa jika dikelola secara tepat, di pihak lain ia juga membawa bibit ancaman disintegrasi. Karakter pluralistik itu hanya suatu pressing factor dalam realitas ikatan negara.
Negara itu sendiri pada hakikatnya merupakan social contract, seperti istilah Rousseauyang secara intrinsik selalu memiliki tantangan disintegrasi. Yang menjadi soal, seberapa besar  derajat ancaman itu dan sebarapa baik manajemen penyelesaiannya. Ada faktor contagion, bahwa langkah yang satu dapat ditiru yang lain, akan memperkuat tekanan itu terlebih-lebih bila masing-masing mengalami pengalaman traumatik yang mirip.
Konsepsi pembentukan Indonesia sendiri memang lebih relevan, seperti istilah David Beetham, sebagai sebuah produk historis, bukan a fact of nature. Ini selaras dengan asumsi bahwa “semua wilayah nusantara bekas jajahan Belanda adalah wilayah Indonesia”. Dengan demikian masalah legalitas wilayah terpecahkan secara lebih mudah dan diterima oleh rakyatnya maupun komunitas internasional. Lewat landasan yang sama, maka rasional untuk memisahkan diri bagi bagian-bagian wilayah yang termasuk bekas jajahan Belanda itu tidak kuat.
Perlu dicatat bahwa cita-cita kolektif melalui pembentukan suatu negara antara lain merupakan itikad mulia untuk bekerja sama senasib sepenanggungan melalui kerangka nasionalisme dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat. Nasionalisme itu sendiri sebetulnya adalah pendefenisian identitas kebangsaan dengan siapa kita ingin bekerja bersama dalam mencapai bonum publicum, apakah karena ikatan etnis, agama, wilayah/teritorial atau lainnya atau kombinasi sebagian atau seluruhnya. Seperti kata Ernst Gellner, ada rasional pembangunan sebagai alasan eksistensi negara.
Soekarno dianggap paling mewakili semangat patriotisme dan nasionalisme generasi muda Indonesia di masanya. Baginya, martabat dan identitas diri sebagai bangsa merdeka sangat penting. Proklamator Kemerdekaan Indonesia lainnya, Bung Hatta pernah mengutip pandangan Prof. Kranenburg dalam Het Nederlandsch Staatsrech, “Bangsa merupakan keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena persamaan nasib, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, dan oleh karena jasa bersama. Pendeknya, oleh karena ingat kepada riwayat (sejarah) bersama yang tertanam dalam hati dan otak”.
Dalam perspektif yang kurang lebih sama, Jenderal Ryamizard Ryacudu yang saat menjabat sebagai KSAD sangat getol memompakan semangat patriotik kepada berbagai kalangan menyatakan bahwa rasa kebangsaan merupakan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tumbuh secara alamiah karena adanya kesamaan budaya, sejarah dan aspirasi perjuangan yang membuahkan semangat untuk maju bersama. Dari semangat kebangsaan akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Dalam perspektif seperti itu, menurut Ryamizard,  kita akan mampu meneriakkan kata-kata: ‘Merdeka atau Mati’ dengan penuh penghayatan yang sebenarnya.
Di sini, kepentingan terhadap nasionalisme dipupuk dengan sikap patriotisme yang tinggi. Nasionalisme tidak harus hidup dalam bayang-bayang—memakai bahasa Benedict Anderson, imagined community—tetapi harus dilaburi dengan sikap jujur dan berani mengambil risiko. Seluruh kelompok intelektual muda Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan ambil peran dalam partai-partai dan organisasi-organisasi pergerakan.
Perspektif yang sedikit berbeda tentang nasionalisme dan patriotisme dikemukakan oleh pakar ilmu sosial Dr. Gandung Ismanto. Dia menyampaikan bahwa semangat kebangsaan atau nasionalisme merupakan hal yang terus berkembang seiring dengan tantangan dan kemajuan zaman. Semangat kebangsaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan situasi yang sedang terjadi pada masanya. Di situlah rasa kebangsaan menampakkan relativismenya karena dia digelorakan oleh manusia yang juga relatif. Jadi, menurut Gandung, kita akan gagal dan kecewa bila berharap semangat dan rasa nasionalisme para pelaku sejarah Proklamasi tahun 1945 harus sama persis dengan semangat nasionalisme generasi sekarang.
Meskipun demikian Gandung melihat ada benang merah dari semangat kebangsaan antargenerasi yang hidup di sepanjang zaman yakni pada intinya semangat kebangsaan merupakan upaya kolektif untuk memerdekakan diri, suatu upaya pencarian identitas baru agar bisa maju bersama menuju kehidupan ideal yang dicita-citakan. Kehendak bebas untuk menentukan identitas diri merupakan hak yang tidak dapat dicabut dari diri seseorang maupun dari suatu bangsa oleh pihak mana pun.

Strategi Penguatan Nasionalisme dan Patriotisme di Era Global
Berdasarkan berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa semangat nasionalisme dan patriotisme sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa agar setiap elemen bangsa bekerja dan berjuang keras mencapai jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa ini merupakan modal yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan dan hambatan di masa depan. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme dalam konteks globalisasi saat ini harus lebih dititikberatkan pada elemen-elemen strategis dalam percaturan global. Oleh karena itu, strategi yang dapat dilakukan antara lain:
  1. Penguatan peran lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dalam ikut membangun semangat nasionalisme dan patriotisme, terutama di kalangan generasi muda. Sebagai contoh: Gerakan Pramuka. Sebagai catatan, keberhasilan Gerakan Pramuka dalam membangun semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan generasi muda Indonesia tengah menjadi kajian mendalam di Malaysia untuk diterapkan di sana. Generasi muda adalah elemen strategis di masa depan. Mereka sepertinya menyadari bahwa dalam era globalisasi, generasi muda dapat berperan sebagai subjek maupun objek.
  2. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme pada masyarakat  yang tinggal di wilayah-wilayah yang dalam perspektif kepentingan nasional dinilai strategis, seperti: daerah perbatasan, kawasan industri strategis, daerah pertanian (logistik), serta daerah penghasil bahan tambang dan hasil hutan. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkecil kesenjangan ekonomi, sosial, dan budaya di wilayah tersebut melalui berbagai program pendidikan dan pembinaan yang melibatkan peran masyarakat setempat.
  3. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme pada masyarakat yang hidup di daerah rawan pangan (miskin), rawan konflik, dan rawan bencana alam. Strategi ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan berbagai program yang diorientasikan pada peningkatan kesetiakawanan sosial dan partisipasi masyarakat.
  4. Peningkatan apresiasi terhadap anggota atau kelompok masyarakat yang berusaha melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa. Demikian pula dengan anggota atau kelompok masyarakat yang berhasil mencapai prestasi yang membanggakan di dunia internasional. Apresiasi ini dapat dilakukan dengan pemberian penghargaan oleh negara dan kemudian prestasinya diangkat oleh media massa.
Peningkatan peran Pemerintah dan masyarakat RI dalam ikut berperan aktif dalam penyelesaian berbagai persoalan regional dan internasional, seperti: penyelesaian konflik, kesehatan, lingkungan hidup, dan lain-lain.

Mahasiswa dan Nasionalisme


Makna dan Sejarah Nasionalisme Indonesia
Ketika berbicara mengenai nasionalisme dalam konteks Indonesia pada saat ini, tentunya tidak terlepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan perkembangan kontemporer kita saat ini. Kedua hal ini masih terus mempengaruhi nasionalisme, baik itu dari aspek definisi atau aspek praktikal, dan tidak hanya saling mempengaruhi, namun juga akan memunculkan silang pendapat antara golongan yang berusaha menghidupkan kembali romantisme masa lalu dan golongan yang berusaha memahami realitas pada saat ini.
Perdebatan antara sejarah dan perkembangan saat ini dan kemudian muncul pro-kontra antara golongan yang satu dengan yang lain akan selalu memunculkan sebuah pertanyaan besar, yaitu: masih relevankah nasionalisme untuk Indonesia? Pertanyaan yang sebenarnya hanya membutuhkan kalimat selanjutnya yang cukup panjang ini, seakan tidak pernah tenggelam di antara isu-isu lain yang berkembang, karena pada akhirnya isu-isu tersebut bisa dikaitkan dengan nasionalisme.
Nasionalisme adalah suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia (Wikipedia, 2006). Dalam konteks Indonesia, pengertian ini dapat kita cocokkan dengan sejarah Indonesia ketika tahun 1945, yang pada saat itu para pendiri bangsa berusaha membuat sebuah nasionalisme yang dapat mempersatukan seluruh masyarakat yang berada dalam wilayah jajahan Belanda. Nasionalisme yang kemudian dihasilkan adalah sebuah nasionalisme yang berdasarkan kepada kesamaan nasib. Konsep yang dihasilkan para pendiri bangsa tersebut, berhasil untuk mempersatukan wilayah yang kita kenal sebagai Indonesia pada saat ini.
Nasionalisme akan mudah untuk dimengerti dan diimplementasikan jika ada musuh bersama. Jika musuh ini hilang, maka ikatan nasionalisme akan mengendur dengan sendirinya. Preseden yang muncul di Indonesia mempertegas pendapat ini. Jika kita melihat ke tahun 1940-an, ketika Belanda masih berusaha menguasai Indonesia melalui Agresi Militer I dan II, nasionalisme di kalangan masyarakat masih kuat, sehingga perjuangan Indonesia di Konferensi Meja Bundar 1949 membuahkan hasil diakuinya kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Namun pasca-KMB 1949, Indonesia kehilangan musuh bersama dan golongan-golongan dalam masyarakat lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet selama masa tersebut. Nasionalisme sempat muncul meski sebentar, ketika Indonesia mengeluarkan sikap politik luar negeri terhadap Malaysia dengan Dwikora. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena kondisi internal dalam Indonesia memang sedang rapuh. Setelah itu, nasionalisme dapat dimunculkan kembali ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dijadikan sebagai musuh bersama karena dianggap sebagai biang keladi Gerakan 30 September. Lebih dari 30 tahun kemudian, Indonesia memperoleh kembali sebuah musuh bersama, yaitu Orde Baru, sehingga gerakan nasionalisme dapat menghasilkan reformasi dan demokrasi yang selama 30 tahun dikebiri. Namun ketika musuh bersama tersebut telah berhasil dilumpuhkan, kepentingan kelompok kembali muncul mengesampingkan nasionalsime itu sendiri.
Kejadian-kejadian historis di Indonesia tersebut mempertegas bahwa nasionalisme dapat secara efektif diimplementasikan apabila masyarakat dalam sebuah negara memiliki musuh bersama.
Nasionalisme Kini dan Gerakan Mahasiswa
Dari preseden yang ada mengenai nasionalisme, musuh bersama menjadi sebuah kebutuhan jika nasionalsime ingin mempunyai tempat dalam kehidupan Indonesia. Namun pencarian terhadap musuh bersama ini tidaklah sekadar mencari subyek ataupun obyek yang sekadar dijadikan tumbal caci maki oleh civil society (yang di dalamnya terdapat juga gerakan mahasiswa), melainkan juga harus mencari subyek atau obyek yang memang harus dijadikan musuh bersama karena pengaruhnya yang buruk bagi masyarakat. Nasionalisme akan selalu berkaitan erat dengan masalah kedaulatan sebuah negara. Kedaulatan adalah sebuah hal yang mutlak dimiliki oleh sebuah negara dan tidak bisa diganggu gugat oleh negara atau pihak manapun. Pada perkembangan saat ini, kedaulatan negara tidaklah lagi menjadi hal yang mutlak untuk dipraktekkan. Karena dengan munculnya berbagai macam organisasi internasional (OI) dan semakin kuatnya posisi tawar negara-negara maju di dalam OI tersebut, kedaulatan negara menjadi semakin kabur. Prinsip koordinatif yang dikembangkan ketika awal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) muncul menggantikan Liga Bangsa-bangsa (LBB) tidak lagi tegas jika sudah berhadapan dengan kepentingan negara-negara besar. Nasionalisme telah digantikan oleh globalisasi sedikit demi sedikit. Globalisasi yang lahir dari budaya sebuah bangsa, dan dijadikan budaya tunggal dunia. Indonesia terkena dampak dari globalisasi ini. Hukum positif Indonesia tidak lagi menjadi kewenangan legislatif, melainkan harus mematuhi regulasi internasional yang dihasilkan oleh OI yang dikontrol oleh negara-negara maju.
Nasionalisme sebuah bangsa menentukan arah pergerakan bangsa tersebut kepada pilihan yang lebih buruk atau baik. Negara-negara maju pada saat ini menekankan pentingnya nasionalisme ketika mereka sedang berada dalam posisi sebagai negara sedang berkembang. Ketika posisi mereka berubah, nasionalisme mereka tidak ikut berubah dan justru berusaha menyebarkan nasionalisme mereka ke negara lain. Jadi, ketika muncul pertanyaan: masih relevankah nasionalisme untuk Indonesia, hal ini harus dijawab dengan mudah jika melihat preseden dan memiliki visi yang tegas mengenai bangsa ini. Bangsa yang tidak memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, akan selalu menjadi bangsa kelas dua di lingkungan internasional, akan selalu menjadi bangsa konsumtif yang dependen terhadap negara lain. Kedaulatan penuh dapat diwujudkan jika masyarakat dalam suatu bangsa memiliki visi yang kuat untuk mengarahkan bangsanya menjadi lebih baik. Sebuah visi yang kuat dapat lahir jika dilandaskan dengan nasionalisme. Tanpa adanya nasionalisme, tidak akan ada visi, tidak akan ada kedaulatan, dan tidak akan ada perubahan bagi bangsa ini.
Lalu bagaimana mahasiswa Indonesia (baca: mahasiswa UKSW) mewujudkan nasionalisme yang erat kaitannya dengan musuh bersama? Tindakan apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa Indonesia? Berbagai cara diwujudkan oleh civil society dalam mencari musuh pada saat ini untuk menunjukkan nasionalisme mereka, terlepas dari kepentingan yang mereka usung. Ada yang melalui tindakan elitis, persuasif, underground, sampai pada taraf anarkis. Isu yang muncul pun semakin beragam seperti program peningkatan kualitas pendidikan, penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi perusahaan multinasional, anti OI, dan lainnya. Tindakan mewujudkan nasionalisme melalui metode-metode dan isu-isu tersebut terjadi dengan mendasar pada kondisi yang berkembang pada saat ini. Mahasiswa Indonesia tidak harus terikat dengan metode-metode dan isu-isu yang ada. Kajian ilmiah menjadi sebuah keharusan bagi mahasiswa Indonesia yang merupakan civil societyberbasis kaum intelektual untuk dapat mengidentifikasi musuh bersama yang ingin dikedepankan. Tanpa adanya kajian ilmiah yang mendalam, aksi dalam mengedepankan musuh bersama untuk membangkitkan kembali nasionalisme hanya akan menjadi aksi taktis yang tak ada kontinuitasnya. Kajian ini juga tidak hanya sekadar bergerak dalam isu-isu terkini saja, namun juga harus mampu mengantisipasi kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang, sehingga mahasiswa Indonesia tidak tergagap-gagap untuk menghadapi perubahan masyarakat yang drastis.
Mahasiswa dan Nasionalisme
Kajian ilmiah yang menjadi suatu keharusan bagi mahasiswa Indonesia dalam membangkitkan kembali nasionalisme, harus mampu diwujudkan jika mahasiswa Indonesia tidak ingin terjebak dalam romantisme masa lalu. Mahasiswa Indonesia harus sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas dirinya agar mampu membangkitkan kembali nasionalisme Indonesia. Ketika kualitas diri mahasiswa Indonesia meningkat dan kajian ilmiah semakin menguat, mahasiswa Indonesia (termasuk mahasiswa UKSW) akan mampu menjadi think tank bagi pergerakan nasionalisme di Indonesia. Semoga.
WILSON M. A. THERIK
Mahasiswa Doktoral Studi Pembangunan Program Pascasarjana UKSW