Senin, 27 Desember 2010

Siapa Mengkhianati Pancasila?

 PANCASILA tidak bisa dikatakan sebagai karya otentik Bung Karno. Karena, sebelum BK pada 1 Juni 1945 menyampaikan rumusan Pancasila, Prof. M. Yamin sudah lebih dulu mengenal dan menyampaikan rumusan ini. Setidaknya, BK bukanlah satu-satunya, karena selain BK dan Yamin, Soepomo juga merupakan salah satu founding fathers yang memperkenalkan Pancasila kepada rakyat Indonesia.
Pancasila juga tidak bisa dikatakan merupakan perahan dari nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Alasan pertama, sila-sila yang ada pada Pancasila, persis sama dengan asas Zionisme dan Freemasonry, seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, BK, Yamin dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia.
Alasan kedua, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya Islam, tetapi ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Dari semuanya itu, hanya agama Islam memiliki konsep Berketuhanan Yang Maha Esa (Allahu Ahad). Selainnya, menganut paham dan konsep bertuhan banyak.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia sejak tahun pertama Hijriah, penduduk di kawasan Nusantara ini beragama Hindu dan penganut animisme, yang tidak punya konsep Berketuhanan Yang Maha Esa.
Alasan ketiga, pada masa pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat di kawasan Nusantara ini kebanyakan merupakan kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sistem monarkis seperti ini, tidak dikenal konsep Musyawarah untuk Mufakat tetapi yang berlaku adalah sabda pandita ratu. Rakyat harus tunduk dan patuh kepada titah sang raja tanpa reserve. Sekaligus, tidak ada demokrasi, karena kedudukan raja dijabat turun-temurun.
Pada masa kerajaan Hindu, tidak ada persatuan, terjadi perpecahan, perebutan kekuasaan dan wilayah. Tidak ada nasionalisme. Lantas, dari mana dasar berpijak BK yang mengatakan bahwa Pancasila adalah hasil perahan dari saripati nilai-nilai yang ada dan hidup di kawasan Nusantara? Nampaknya, BK telah berbohong. Ia malu dikatakan plagiator ideologi.
Ironisnya, justru BK-lah orang pertama yang mengkhianati Pancasila. Atas nama Pancasila BK berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, seni, dengan memaksakan kehendak. Ideologi Nasakom dipaksakan dengan despotis. Bahkan kesenian yang dibolehkan hanya kesenian gaya Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan sebagai musuh revolusi. Hamka, malah dipenjarakan karena melawan Lekra.
Sejak awal, nampaknya Pancasila memang tidak ditujukan untuk menjadi alat pemersatu, dan untuk mengakomodir ke-Bhinneka-an yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Tetapi, untuk menjegal peluang syari�at Islam. Hingga kini, para nasionalis sekular, dan non Muslim, menjadikan Pancasila sebagai senjata ampuh untuk menjegal syari�at Islam, meski konsep Ketuhanan yang ada pada Pancasila tidak sama dengan konsep berketuhanan banyak yang mereka anut.
Faktanya, non Muslim lebih sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan syari�at agamanya, ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya di dalam menjalankan ibadahnya dan menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas konstruksi masyarakat yang menganut anarkisme ideologis seperti ini?
Sekali lagi, Pancasila sudah kian terbukti tidak dapat diandalkan menjadi alat pemersatu. Ia cuma alat politisi busuk yang anti Islam namun mengatas-namakan ke-Bhinneka-an. Padahal, bukan hanya Indonesia yang masyarakatnya multi etnis, multi kultural dan multi agama. Di Amerika Serikat, untuk mempertahankan ke-Bhineka-annya mereka tidak perlu Pancasila. Begitu juga dengan Malaysia. Faktanya, mereka justru lebih maju dari Indonesia.
Kondisi rakyat Indonesia di bawah naungan rezim Pancasila, justru bagai berdiri di pinggir jurang, di malam gelap gulita. Digoyang berbagai bencana, dan dipenuhi sampah maksiat. Sementara hantu birokrasi yang korup, menyebabkan rakyat Indonesia hanya mampu mengigau tentang kesejahteraan, keselamatan, dan keamanan.
Inilah fakta sejarah yang betapapun pahitnya, haruslah diakui secara jujur. Sayangnya, sejumlah pejabat dan mantan pejabat di negeri ini, belum juga siuman dari mimpinya tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana sila kedua Pancasila. Padahal sejarah membuktikan, apa yang dilakukan rezim penguasa selama 60 tahun Indonesia merdeka, justru penindasan terhadap kemanusiaan.
Dalam memperingati hari lahir Pancasila, pada tanggal 4 Juni 2006 di Bandung muncul sejumlah tokoh nasional berupaya memperalat isu Pancasila untuk kepentingan zionisme. Celakanya, mereka menggunakan cara yang tidak cerdas dan manipulatif. Dengan berlandaskan asas Bhinneka Tunggal Ika, mereka memposisikan agama seolah-olah perampas hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahkan, mereka menganggap agama tidak mampu memberi solusi terhadap kompleksitas problema negara.
Dalam pandangan mereka, segala hal yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu kebebasan. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama agama sebagai hal yang tidak dibenarkan. �Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan,� kata Megawati. Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar Tanjung, �Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang merongrong bhineka, adalah kekuatan-kekuatan yang ingin menyeragamkan.�
Kebencian pada agama menyebabkan parameter kebenaran porak poranda, kemungkaran akhlaq merajalela. Kesyirikan, aliran sesat, dan perilaku menyesatkan membawa epidemi kemaksiatan. Negeri ini, kian menjauh dari rahmat Allah!
Jangan ada lagi pihak yang sok bersih, merasa menjadi tokoh pemersatu di negeri ini. Jika berpegang pada asas ke-Bhinneka-an, maka hukum pidana di Indonesia tidak boleh hanya satu, tapi harus beragam guna menaungi masing-masing golongan, agama, budaya dan adat istiadat Dengan demikian, hukum pidana Islam harus menjadi hukum positif.
Ketika bangsa Indonesia mengadopsi sistem hidup sekuler dan menyingkirkan syari�at Islam, yang terjadi adalah malapetaka yang terus menerus. Adalah fakta, bahwa Pancasila telah gagal membangun moral, pertahanan keamanan ringkih, kesejehatraan bagi rakyat miskin, mengatasi kriminalitas, kemiskinan, pendidikan murah. Yang berhasil dibangun justru birokrasi korup, penguasa yang menyalah-gunakan wewenang, pejabat yang berkhianat kepada rakyat.
Islam telah menyumbang banyak pada Indonesia, tapi diperlakukan secara tidak adil dan diskrimintaif. Inventarisasi jasa Islam dilakukan seorang pakar sejarah, almarhum Dr. Kuntowijoyo, dalam bukunya Identitas Politik Umat Islkam. Jasa Islam bagi kebaikan negeri ini, menurut Kuntowijoyo, antara lain: Pertama, Islam membentuk civic culture (budaya bernegara). Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di seluruh Indonesia sejak abad ke-13 pasti dipengaruhi oleh Tata Negara Islam, bukan oleh Hinduisme. Buku Tata Negara, seperti Tajus Salatin mempunyai pengaruh yang luas.
Kedua, Solidaritas nasional, terjalin karena peng-Islaman Nusantara menjadikan seluruh Indonesia sebuah kesatuan. Jaringan itu terbentuk terutama sesudah ada diaspora Islam ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Persamaan agama, budaya, dan suku Melayu menjadikan jaringan agama sebagai proto-nasionalisme.
Ketiga, syari�at jihad menjadi motivator satu-satunya untuk meraih kemerdekaan, bebas dari belenggu penjajahan kafir Belanda. Pada tahun 1873-1903 terjadi Perang Aceh menentang penjajah Belanda. Pada tahun-tahun 1945-1949 ideologi jihad-lah yang mendorong pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah sebagai tentara resmi melawan penjajah. Perlawanan terhadap komunisme pada tahun 1965-1966 adalah berkah ideologi jihad.
Keempat, kontrol sosial di NKRI, tidak hanya dijalankan oleh polisi, hukum, perundangan, dan peraturan, tapi terutama oleh agama Islam. Bayangkan, jika tidak ada Islam yang melarang pembunuhan, pencurian, dan perampokan, pastilah orang-orang kaya perlu punya banyak Satpam. Jika tidak ada Islam yang melarang tradisi kawin sesama saudara kandung, mengharamkan pelacuran, perjudian, miras, korupsi, seperti apa Indonesia hari ini?
Sayangnya, bangsa Indonesia belum pernah secara obyektif mengakui dan kemudian mengoreksi kesalahannya. Ada banyak alasan kondisional, dimana seseorang atau suatu bangsa terjerumus pada kesesatan tanpa menyadari bahwa mereka tersesat jalan. Mereka rela berkorban apa saja, demi bangsa, demi persatuan, demi hak asasi manusia, tanpa memahami bahwa itu semua adalah sia-sia. Al-Qur�an menginformasikan hal ini, sejak 15 abad lalu:
�Katakanlah, apakah akan Kami beritakan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu, orang-orang yang telah melakukan kesesatan dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka mengira telah berbuat yang sebaik-baiknya.� (Qs. Al-Kahfi, 18:103-104)

Oleh Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidzhiyah Majelis Mujahidin

Pancasila, Zionisme dan Freemasonry

TANGGAL 1 Juni disebut-sebut sebagai hari lahirnya Pancasila. Menurut Syafi�i Ma�arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, Pancasila merupakan karya brilian Bung Karno. Benarkah demikian? Hal itu diucapkannya pada sebuah teve swasta dalam acara memperingati Sewindu Reformasi, Mei 2006 silam. Bagaimana Pancasila dapat dikatakan sebagai karya brilian Bung Karno yang telah menggali nilai-nilai lokal kemudian diperahnya menjadi lima sila, dan salah satunya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, padahal hanya Islam yang Tuhannya Maha Esa. Agama selain Islam yakni Kristen (Protestan dan Katholik), Hindu, Budha dan Kong Hucu (bila diakui sebagai agama), semuanya adalah politheis, tidak Maha Esa.
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Indonesia bergama Hindu dan animis. Ini adalah fakta sejarah. Lalu darimana dasar berargumen BK yang mengatakan bahwa ia mengambil saripati nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat Nusantara, dan memerahnya menjadi Pancasila. Padahal, animisme tidak ber-Tuhan Yang Maha Esa.
Sepanjang Orde Baru berkuasa, kepada rakyat Indonesia ditanamkan doktrin bahwa Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di kalangan rakyat, merupakan ajaran yang tak boleh dibantah.
Doktrin tersebut disosialisasikan pada setiap penataran P-4. Sehingga, kalau ada yang berani mengemukakan wacana lain, pasti akan dilibas habis. Tetapi, setelah Orba ambruk, berbagai teori yang menggugat asal muasal Pancasila yang konon sakti itu, justru banyak bermunculan.
Di antara teori yang muncul itu mengatakan, bahwa sila-sila pada Pancasila ternyata memiliki kemiripan yang tak terbantahkan dengan asas Zionisme dan asas Freemasonry, seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial).
Menurut Abdullah Patani, sang pemilik teori, kesamaan sila-sila pada Pancasila dengan kelima sila pada asas Zionisme dan asas Freemasonry, tidak terjadi secara kebetulan, namun merupakan proses panjang dan sistematis, dimana para tokoh-tokoh penggagas Pancasila (Soekarno, Soepomo, dan M. Yamin) sudah sejak lama menyerap nilai-nilai zionisme dan freemasonry itu. Juga Ki Hajar Dewantara, yang diklaim sebagai bapak pendidikan nasional.
Bahkan Ki Hajar Dewantara sudah memasukkan paham Freemasonry melalui lembaga pendidikan Taman Siswa yang sekuler. Sejak awal Taman Siswa menunjukkan kecenderungan yang sangat antipati terhadap agama Islam. Antara lain, penolakannya untuk memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum, dan menggantikannya dengan pendidikan budi pekerti.
Bung Karno adalah murid -non formal- dari Ki Hajar Dewantara dan A. Baars. Sebagai murid, ia patuh mengikuti teori yang dicanangkan sang guru. Bahkan, A. Baars sebagai guru Bung Karno, dikenal sebagai seorang Belanda yang menjadi anggota Partai Komunis pada zaman Semaun. Maka bisa dimengerti, bila Pancasila yang kemudian digagas Bung Karno, bagai bersaudara kembar dengan �pancasila� milik kalangan zionis dan freemasonry. Apalagi Bung Karno semasa hidup menunjukkan sikap penghargaan yang tinggi terhadap pemikiran Kemal Attaturk, salah seorang anggota freemasonry dari Turki. Bahkan Soekarno cenderung meneladani Kemal di dalam menghadapi Islam, yaitu melakukan tipudaya terhadap rakyat dan ulama Islam.
Karena itu, Pancasila yang digagas Soekarno bersama penyair Soneta Mohamad Yamin dan Soepomo merupakan tipudaya yang sangat nyata. Melalui Pancasila, Bung Karno dan tokoh-tokoh nasionalis sekuler ini menciptakan landasan pembenaran untuk menerapkan floatisme (salah satu doktrin freemasonry).
Maksud floatisme pada dasarnya menisbikan nilai-nilai agama, mengambangkan keyakinan umat beragama, dan mendorong pemeluk agama mencari titik persamaan dari agama-agama yang mereka anut. Sehingga yang muncul ke permukaan bukan ajaran murni agama, namun sekedar budi pekerti, atau semacam aliran kepercayaan yang tidak mempunyai syariah meski mengaku bertuhan yang maha esa.
Meski secara formal Soekarno beragama Islam, namun dia tidak lebih dari musang berbulu ayam bagi umat Islam. Pada masa Soekarno, terjadi perpindahan agama secara besar-besaran (ribuan orang) dari Islam ke Kristen (Protestan). Padahal seharusnya pemerintah harus mencegah setiap orang yang ingin murtad dari agama islam dengan menerapkan hukuman mati bagi yang murtad dari agama islam.
Selain keberpihakannya kepada kristenisasi, Soekarno juga sangat membela komunis. Soekarno tahu, komunisme tidak bisa subur di Indonesia karena faktor Islam. Karena itu, pertama-tama yang harus dilumpuhkan adalah kekuatan revolusioner yang benar-benar hidup di masyarakat, yaitu kekuatan revolusioner Islam.
Caranya, mengirimkan tokoh-tokoh partai Masyumi dan Syarekat Islam ke dalam penjara. Karena, mereka selama ini telah menjadi kekuatan revolusioner yang paling nyata di dalam menghadapi penjajah Belanda dan Jepang. Bila Belanda dan Jepang bisa dilawan, apalagi cuma komunisme. Langkah Soekarno selanjutnya menerapkan doktrin Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).
Ketika itu Soekarno berdalih, kita akan berhadapan dengan neo kolonialisme, neo penjajah. Untuk menghadapinya, kalangan Islam harus menjalin kerja sama dengan komunis, sehingga tercipta kekuatan yang besar. Untuk itu konsep Nasakom diperlukan. Ternyata, bahaya neo kolonialisme cuma omong kosong, hanya tipu daya Soekarno. Karena konsep Nasakom sesungguhnya hanya untuk membuat komunisme berkembang semakin pesat.
Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa Soekarno hanya seorang penipu. Pertama, dia telah menipu dengan memberi kesan seolah-olah Pancasila itu hasil kerja kerasnya menggali nilai-nilai yang hidup di Indonesia. Padahal, sila-sila yang diperkenalkannya itu sama dengan sila-sila yaang pernah disampaikan Mohamad Yamin pada 29 Mei 1945. Dan sila-sila itu mungkin hanya karya contekan dari asas Zionisme dan Freemasonry yang diperolehnya dari berbagai literatur.
Kedua, dengan mengintrodusir Pancasila, Soekarno berusaha meredam pertumbuhan kehidupan beragama yang sehat. Sebab Pancasila pada dasarnya hanyalah floatisme yang diterapkan di Indonesia dengan nama lokal. Ketiga, melalui Pancasila Soekarno membawa bangsa Indonesia menerima paham komunis, melalui doktrin Nasakom. Upaya ini akhirnya gagal total. Maka, lahirlah Orde Baru dengan semangat floatisme yang sama.
����������������������������

Oleh : Erros Jafar
www.swaramuslim.net )

Nasionalisme Vs Komunisme


Suatu hari selepas kuliah siang itu, kami, Awan, Joko, Fajri, Cunop, Andi, Iwan dan Nova nongkrong di tempat biasa ngopi bareng. Di warung Babeh yang tak begitu jauh dari Mesjid Salman ITB di kawasan Jl. Sambung Nyawa. Kami bercerita apa saja yang terlintas dikepala, mulai dari cerita mengolok-olok dosen yang Killer sampai cerita yang tak jelas ujung pangkalnya. Cerita bertambah seru dikarenakan cuaca sore itu hujan yang tak kunjung henti menjelang magrib. Gelas kopi ketigapun dipesan demi memperhangat banyolan yang sepertinya tak ada ujungnya.
Dari sekian banyak cerita yang kami lontarkan, ada satu fenomena yang sedikit menggelitik kami semua, yaitu cerita tentang nasionalisme versus komunisme. Entah berawal dari mana, tiba-tiba kami membahas tentang lambang negara, bunyi sila Pancasila beserta lambangnya. Seorang teman tiba-tiba melontarkan pertanyaan tentang lambang sila kedua dari Pancasila. Kami semua menjawab dengan berbagai jawaban yang berbeda-beda. Ada yang menjawab lambang sila kedua tersebut Padi dan Kapas, ada yang menjawab, Pohon Beringin dan ada juga yang menjawab Kepala Banteng. Bahkan urutan gambar yang berada pada perisai yang melekat didada Garudapun kami tak hapal. Kesimpulan dari semua jawaban itu, tak satupun yang benar. Hal itu kami ketahui setelah salah seorang teman langsung mengambil inisiatif untuk membuka internet demi menjawab penasaran kami semua. Dan jawaban yang benar adalah Rantai. Awalnya kami semua tertawa dengan ketidaktahuan kami semua. Namun inilah pangkal dari perdebatan nasionalisme versus komunisme kami semua.
Pertanyaan berikutnya berlanjut pada bunyi dari sila-sila Pancasila. Masing-masing kami diberi kesempatan untuk melontarkan jawaban masing-masing. Alhasil, kami semua tidak ada yang hapal semua sila-sila Pancasila tersebut. Walaupun ada teman yang hapal bunyi semua kalimat sila-sila Pancasila tersebut, tetapi dia mengucapkannya tidak sesuai dengan urutan yang benar. Lalu dari sisi lain seorang teman memecah kebuntuan jawaban dengan sebuah pertanyaan baru. “Komunis lambangnya apa”? Kata teman tersebut, dan serentak hampir dari kami semua menjawab Palu dan Arit. Sejenak kami terdiam dan tiba-tiba teman yang melontarkan pertanyaan tadi mengeluarkan kata-kata yang “menyentuh kalbu”, yaitu “Kalian semua Komunis” katanya sambil tertawa. Kamipun tertawa semua dengan paradoks yang barusan terlontar.
Pertanyaan berikutnya mengenai arti dari lambang negara yaitu Burung Garuda. Kami semua tahu bahwa lambang tersebut merupakan representasi dari hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Tanggal 17 dilambangkan dengan jumlah bulu sayap burung Garuda, bulan 8 (Agustus) dilambangkan dengan jumlah bulu ekor burung Garuda dan tahun 45 dilambangkan dengan jumlah bulu leher burung Garuda. Setelah kami semua dapat menerjemahkan lambang tersebut, seorang teman memberikan pertanyaan yang cukup mengejutkan kami semua, “Apa yang terjadi jika seandainya negara kita tidak merdeka tanggal 17 Agustus 45? Bagaimana jika seandainya proklamasi itu dikumandangkan tanggal 2 Januari”? Kami semua terdiam memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Kami saling melongo sambil membayangkan jumlah bulu ekor dan sayap burung Garuda. Singkat cerita kami semua tidak tahu jawaban dari pertanyaan teman tadi. Lalu teman tersebut bertanya kepada kami, apakah lambang negara akan berganti dengan Capung yang mempunyai jumlah sayap dua dan ekor satu. Serentak kami semua tertawa terbahak-bahak.
Tanpa mengurangi rasa hormat kami terhadap lambang negara yang sangat “disakralkan” tersebut, semua itu terlontar tanpa sengaja dan tanpa ada tendensi didalamnya. Kami semua sadar, bahwa ingatan kami tentang Pancasila, Lambang Negara dan semua unsur yang terkait dengan hal tersebut mulai pudar tetapi bukan menjadi patokan rasa nasionalisme kami telah luntur. Namun lewat banyolan itulah kami sadar bahwa generasi muda yang bakal menjadi pewaris bangsa ini perlu selalu dipupuk rasa nasionalisme tersebut. Kamipun yakin kalau pertanyaan-pertanyaan ringan di atas tadi, kalaupun dilontarkan kepada anggota dewan yang terhormat, mungkin kebanyakan dari mereka juga akan lupa tentang sila dan lambangnya. Dan bukan berarti kami semua komunis yang hanya berpatokan pada lambang yang kami semua mengetahuinya. Kamipun berpikir, apakah anak SD di seluruh Indonesia saat ini masih harus menghapalkan bunyi dan lambang dari pancasila sebelum masuk kelas masing-masing?

sumber : http://cunop.wordpress.com/2010/03/28/nasionalisme-vs-komunisme/

Minggu, 26 Desember 2010

Burung Garuda, Poliklinik dan Nasionalisme Buta

Jakarta - Sebagai negara, Indonesia memiliki simbol-simbol kenegaraan yang harus dihormati setiap warga negaranya, tanpa kecuali. Simbol itu adalah kepala negara yaitu presiden, bahasa negara yaitu Bahasa Indonesia, bendera negara yaitu bendera Merah Putih dan lambang negara yaitu Burung Garuda.

Dari 4 simbol negara diatas, mungkin hanya Kepala Negara dan Bendera Negara saja yang pemakaiannya sudah pantas. Tapi bagaimana dengan dua lambang lainnya yaitu bahasa negara dan lambang negara?

Sebuah kresek putih tergeletak di meja staff karyawan sebuah institusi negara. Dalam
kresek plastik itu, terdapat lambang negara Burung Garuda dengan tulisan besar di atasnya, POLIKLINIK. Padahal, umumnya lambang kesehatan/ kedokteran adalah ular melingkar.

"Loh, ini kan poliklinik di lembaga negara. Lembaga negaranya juga pakai logonya lambang Burung Garuda. Ya polikliniknya ikutan juga," kata sang empunya kresek berdalih.

Burung Garuda kini juga melekat di kartu nama pejabat. Beberapa pejabat lembaga negara, masih menyematkan Burung Garuda di atas nama serta jabatan. Bahkan, kadangkala Burung Garuda tercetak tebal dengan tinta emas.

Lambang negara ini juga nampak berkibar di sebuah spanduk yang dibentangkan di jembatan penyeberangan. Pasalnya, sebuah institusi pemerintah yang menggunakan Burung Garuda sedang mengajak masyarakat memerangi narkoba. Namun, empunya spanduk mungkin lupa, jika Burung Garuda tersebut rusak, lusuh, kotor karena terkena panas dan hujan, siang dan malam.

Tak berbeda jauh dari fakta di atas, sebuah lambang garuda juga kotor dan lusuh karena di tempel di spark board sepeda motor. Menerjang guyuran hujan, kena kotoran jalan, terkena lumpur got. Di sekeliling Burung Garuda tersebut, lagi- agi nampak tertulis sebuah lembaga negara.

Kini, Burung Garuda juga sering terlihat menempel di atas/ samping plat No Pol mobil.
Terdapat tulisan institusi negara di seputaran Burung Garuda. Sepintas nampak gagah,
menunjukan identitas sang empunya kendaraan.

Pun demikian, seiring trend sekolah Internasional, Bahasa Indonesia ikut tergerus zaman. Entah murni untuk meningkatkan kualitas atau buat prestise semata, kini bahasa asing telah menggeser Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Seakan-akan, ketika orang cas cic cus fasih berbicara bahasa asing, sudah merasa pintar. Padahal, keilmuan dinilai dari logika berpikir, bukan dari bahasa lisan.

Perlakuan kepada dua simbol negara ini seperti perlakuan layaknya kisah Bawang Merah kepada Bawan Putih. Lihatlah ketika Bendera Merah Putih dikibarkan atau diturunkan di Pos Polisi Bundaran HI, Jalan MH Thamrin Jakarta. Orang yang kebetulan melintas berjalan kaki dilarang melintas hingga prosesi berakhir.

Hal ini juga berlaku di berbagai instansi pemerintah, kepolisian, militer atau pendidikan. Norma ini juga diberlakukan ketika Kepala Negara lewat, jalanan ditutup untuk memberikan kesempatan Kepala Negara lewat.

Sang Saka Merah Putih pun dilarang dikibarkan jika dalam kondisi robek, kotor atau sudah tidak pantas.

Tentang hal-hal diatas, negara lewat UU telah mengatur pemakaian simbol-simbol negara tersebut. Sepakat tidak sepakat, UU telah berbicara demikian adanya. Simbol negara harus dijaga.

Bukan menyakralkan tapi sebagai penghormatan dan syukur kepada Tuhan bahwa kita hidup di Indonesia. Sebuah bentuk peradaban tertinggi suatu masyarakat.

Kita boleh saja sangat mencintai Timnas Indonesia karena sukses di laga Piala AFF 2010. Tapi, jangan menjadi cinta buta, nasionalis semu karena Burung Garuda di Timnas digugat oleh orang yang mengingatkan rambu-rambu pemakaiannya.

Toh, kalau memang berkualitas, menggunakan logo federasi sepakbola nasional pun, layaknya timnas negara lain, pasti Timnas menang. Karena tafsir lagu Garuda Di Dadaku jangan diartikan secara eksplisit, namun implisit.

Sebagai penutup, saya tidak pernah memakai baju dengan lambang negara, tapi semangat Burung Garuda itu selalu ada dalam dada.

*) Andi Saputra, wartawan.


 detikcom. 

Sepakbola dan Nasionalisme

Bulan ini Indonesia mendadak dilanda demam sepakbola, meskipun piala dunia 2010 sudah berakhir beberapa bulan lalu. Itu terjadi setelah kemenangan berturut-turut dalam bapak penyisihan piala AFF. Diawali dari kemenangan besar 5-1 atas Malaysia, membantai Laos 6-0 dan terakhir menandukkan Thailand 2-1 jelas tidak bisa dianggap sebagai keberuntungan. Berita-berita di koran dan televisi mulai diwarnai dengan eforia prestasi sepakbola kita yang selama ini sangat terpuruk.
Berbeda dengan demam sepakbola di musim Piala Dunia, di mana dukungan masyarakat terpecah bagi tim-tim luar negeri yang berlaga, kali ini dukungan seluruh rakyat terpusat untuk timnas Indonesia. Kalau dulu aku sempat kesulitan, bahkan belum pernah, menemukan kaos timnas terjual dipinggir jalan, belakangan ini dengan mudah aku bisa menemukan kaos timnas sepakbola kita di pinggir jalan. Malahan menjelang pertandingan leg kedua antara Indonesia melawan Filipina diberitakan adanya antrian pedagang, bukan pembeli, yang ingin membeli kaos timnas untuk dijual kembali karena tergiur keuntungan dua kali lipat. Ini akibat antusiasme masyarakat Indonesia, baik di Jakarta maupun di luar ibu kota untuk memberi dukungan kepada timnas. Selain itu, di kampung juga mulai terlihat anak-anak bermain sepakbola, dan sesekali meneriakkan yel-yel “Indonesia”, “Garuda di dadaku”, dan menyebut nama-nama pemain timnas seperti Gonzales, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas dan lainnya.
Antrian masyarakat untuk bisa menyaksikan pertandingan secara langsung pun tak terelakkan, meskipun harga tiket pertandingan melambung. Beberapa kalangan menganggap tindakan PSSI menaikkan harga tiket ini dirasa tidak mendukung timnas dilihat dari antisiasme masyarakat dalam mendukung timnas. Namun PSSI tetap diam saja, malah dalam pertandingan kedua sepertinya tiket dinaikkan. Tapi tetap saja, dukungan masyarakat  bagi sepakbola Indonesia tidak surut di tengah kekacauan dalam tubuh PSSI. Kekacauan itu masih terlihat dalam penjualan tiket untuk laga kedua semifinal AFF ini. Para pendukung timnas yang sudah berlelah-lelah mengantri dengan tertib akhirnya gagal mendapat tiket pertandingan karena loket tidak segera dibuka. Sangat disayangkan, anarkisme tidak bisa dihindari. Masyarakat mulai melakukan perusakan kantor PSSI dan juga membakar bendera PSSI tersebut sebagai wujud kekecewaan. Tindakan anarkis jelas tidak bisa dibenarkan apapun alasannya, namun PSSI seharusnya bisa introspeksi.
Sebagai satu-satunya organisasi yang menaungi sepakbola nasional, meskipun tanpa campur tangan pemerintah, harusnya PSSI bisa lebih profesional dan mengutamakan nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri, kebangkitan sepakbola nasional ini turut membangkitkan rasa nasionalisme dan persatuan masyarakat. Seharusnya PSSI bisa lebih mengakomodir euforia masyarakat ini dengan banyak memberi kemudahan, bukan hanya mencari untuk sebesar-besarnya. Setidaknya ada dua hal yang seharusnya diperbaiki dari PSSI terkait penyelenggaraan pertandingan AFF ini, juga untuk pertandingan-pertandingan selanjutnya.
Pertama dalam penjualan tiket. Penjualan yang dilakukan secara terpusat di Senayan jelas menimbulkan antrian yang banyak dan bisa memacu keributan. Ada baiknya kalau tempat penjualan tiket bisa disebar di berbagai tempat dan sebagian lagi dilakukan secara online. Tentu mekanismenya harus ketat untuk menghindari praktek per-calo-an yang masih menjadi penyakit masyarakat. Siang tadi sempat menyaksikan adanya orang yang dihajar massa gara-gara diduga sebagai calo. Soalnya sekalipun tiket dijual terpusat, praktek percaloan tetap tidak bisa dihindari, disinilah perlu kerjasama dengan aparat kepolisian untuk mencegah hal ini terjadi.
Hal kedua yang perlu diperbaiki dari PSSI adalah dukungan bagi penonton yang bukan hanya penggemar bola namun juga pendukung timnas yang sedang bertanding. Bagi banyak pihak, dukungan ini adalah wujud nasionalisme masyarakat. Dari pengalaman laga kedua semifinal antara Indonesia - Filipina, jelas bahwa tidak semua pendukung akan bisa masuk ke stadion. Alangkah baiknya kalau di sekitar stadion dibuat semacam layar tancap sehingga masyarakat juga bisa menyaksikan pertandingan meskipun tidak secara langsung di dalam stadion. Kalau sewaktu demam piala dunia banyak sekali acara nonton bareng digelar, seharusnya acara inipun bisa digelar di berbagai tempat di ibukota untuk mengurangi kepadatan penonton di senayan. Oke, ini memang bukan tugas PSSI, namun sebagai pengayom persepakbolaan nasional, seharusnya mereka juga memikirkan hal ini. Pastilah tidak sulit untuk menggandeng sponsor yang mau menjadi mitra, apalagi kalau ditambah dengan alasan nasionalisme.
Tidak bisa dipungkiri, olahraga bisa membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat. Tidak hanya sepakbola, namun juga bulutangkis dan tinju. Sayang sekali prestasi kita setelah reformasi bergulir nampaknya demikian merosot meskipun dukungan masyarakat tidak pernah surut. Memang, waktu final piala Asia terakhir, banyak masyarakat yang begitu kecewa terhadap timnas yang gagal di penyisihan grup meskipun sempat menang atas Bahrain. Namun saat ini, meskipun hanya di kancah regional Asia Tenggara, terbukti sepakbola bisa membangkitkan kembali antusiasme masyarakat dan semangat nasionalisme. Kebanggaan akan merah putih dan garuda terasa membara. “Garuda di dadaku”, akan terus bergema sampai penghujung tahun ini. Semoga saja kali ini Indonesia bisa juara!






detik.com
Tags: 

DESIGN BAJU NATIONALISM OF INDONESIA

Nationalism Of Indonesia
Mau mesen baju silahkan hubungi  Rizky 021-91092095. 

TUTUR KATAMU CERMINAN JIWA NASIONALISME

Nationalism, postingan kali ini saya akan menulis tentang nasionalisme.  Menurut L. Stoddard yang say a baca dari buku PPKn, Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian terbesar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa. Kita adalah bangsa Indonesia yang menganut sistem nasionalisme Pancasila. Pada prinsipnya nasionalisme Pancasila adalah pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa:
  • menempatkan persatuan – kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan;
  • menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara;
  • bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri;
  • mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa;
  • menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia;
  • mengembangkan sikap tenggang rasa;
  • tidak semena-mena terhadap orang lain;
  • gemar melakukan kegiatan kemanusiaan;
  • senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan;
  • berani membela kebenaran dan keadilan;
  • merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia; dan
  • menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Kenapa saya tertarik menulis tentang nasionalisme. Ini ada cerita yang mendasarinya. Hari ini saya mendengar perbincangan antar laborat di sekolah saya dengan salah satu siswa. Bukan niat hati untuk menguping namun volume bicara mereka terlalu besar sehingga wajar saja jika saya dan teman-teman yang kebetulan berada di situ mendengar pembicaraan mereka.Mereka berbicara dalam Bahasa Inggris, awalnya saya agak kesulitan memahaminya. Namun lama kelamaan saya mengerti inti dari pembicaraan mereka. Laborat itu meminta pada siswa untuk menggunakan Bahasa Inggris setiap kali berbicara dengannya. Sang siswa menolak, ia beralasan bahwa ia belum lancar berbahasa Inggis. Si laborat tetap kukuh, siswa itu harus menggunakan bahasa inggris setiap kali berbicara dengannya.
Pembicaraan itu membuatku berpikir, sebenarnya baik nggak sih berbicara menggunakan bahasa asing di negara sendiri ? Lantas siapa yang akan menggunakan bahasa kita (Bahasa Indonesia) ? Orang asing ? Saya tersenyum sinis di tengah lamunan saya.
Bayangkan, di saat kita menyerukan nasionalisme, ada beberapa pihak yang dengan bangga mencetuskan untuk menggunakan Bahasa Inggris dalam pergaulan sehari-hari. Memang kita diharapkan bisa menguasai beberapa bahasa khususnya bahasa asing. Tetapi bukan berarti kita harus menggunakan bahasa asing di negara sendiri. Inilah yang menjadi hambatan bangsa kita. Bagaimana kita bisa maju jika kita terus-terusan memuja (menggunakan) produk asing ?
Harusnya kita bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Ada saatnya kita menggunakan bahasa asing namun, ada waktunya sendiri. Misal : saat kita pergi ke salah satu objek wisata lalu kita bertemu dengan orang asing. Ia meminta kita untuk menjelaskan tentang objek wisata tersebut. Jelas kita harus menggunakan bahasa inggris. Karena orang asing tersebut pastinya tidak bisa berbahasa Indonesia. Dan masih banyak contoh situasi yang pas saat kita menggunakan bahasa asing.
Jadi, tutur ucapan juga mempengaruhi kemajuan bangsa kita. Jangan sampai kita asyik dengan bahasa asing lalu orang asing mencuri bahasa kita. Kalau sampai itu terjadi, maka PENJAJAHAN terhadap bangsa Indonesia telah dimulai kembali. Tentunya kita tidak menginginkan hal tersebut, kan?
Demikian tulisan saya, semoga bisa menjadi motivasi untuk semua warga Indonesia.

Nasionalisme penting bagi pelajar

Jiwa nasionalisme atau cinta tanah air sudah sepatutnya tumbuh di setiap warga negara karena otomatis akan menjadi kekuatan dari negara tersebut. Banyak hal yang dapat menumbuhkan jiwa nasionalisme tersebut.
    
Bisa saja dengan melihat tim nasional bulutangkis menang dalam kejuaraan dunia, pelajar Indonesia meraih juara olimpiade matematika di Jepang atau ngeliat tayangan televisi yang beritanya melulu tentang aksi teror. Hal itu tentu akan semakin mempertinggi rasa cinta terhadap negara. Kalo udah cinta, pasti ingin selalu menjaga dan melindungi.
   
Tapi yang justru terjadi saat ini, jiwa nasionalisme malah semakin melempem seiring dengan perkembangan zaman. Banyak masyarakat kita yang lebih meniru aksi dan budaya asing yang teradopsi dan disiarkan secara bebas di media.
   
Demikian disampaikan oleh Drs Lilik Junaidi selaku Kepala SMA PAB 6 Medan. Lilik mengatakan, bahwa menipisnya jiwa nasionalisme masyarakat berdampak besar bagi pelajar, karena umumnya mereka sifatnya masih labil dan cenderung meniru apa yang mereka anggap hebat atau “gaul” dalam bahasa remaja.
   
Padahal, bagi kaum pelajar menumbuhkan dan menanamkan rasa nasionalisme cukup dengan melakukan kewajiban mereka, yaitu belajar. Selebihnya ya, jangan bertindak negatif, cukup berbuat sewajarnya adalah bentuk sikap patriotik. Nggak usah dengan senjata seperti zaman dulu.
   
Jiwa nasionalisme ini perlu ditekankan kepada pelajar karena merekalah yang akan memegang kekuasaan di negara ini. Jadi, dengan memiliki sikap nasionalisme mereka akan tau bagaimana seharusnya memimpin bangsa agar terus berkembang dan tidak terjajah lagi.
   
Selain itu, penting pula mengajarkan sejarah kepada pelajar agar mereka tau asal-usul negara ini dan betapa beratnya perjuangan para pahlawan plus mengetahui jati diri bangsa. Pernyataan Lilik diakui oleh Qiqi Sylvia. Qiqi mengaku banyak dari teman-temannya acuh nggak acuh terhadap keadaan negara. Padahal, sebagai pelajar yang juga warga negara haruslah peka terhadap masalah bangsa.
   
Menurut siswi berjilbab ini, jiwa nasionalisme itu sangat penting karena kemerdekaan dan nasionalisme adalah hal yang saling berkaitan. Dalam mengisi kemerdekaan harus dibarengi dengan nasionalisme agar kemerdekaan tersebut nggak sia-sia. Makanya pelajar kudu berbuat hal positif. Nah, kamu setuju nggak?


Teks:
Menjadi anggota Paskibra merupakan salah satu bentuk sikap nasionalisme dan juga suatu kebanggaan tersendiri dapat menjadi tim pengibar sang saka Merah Putih.

waspada.co.id

Sayap Garuda Patah!

Sayap garuda patah, kepalanya dimakan harimau malaya, 3-0 tanpa balas, tanpa belas. Dalam istilah orang Indonesia, inilah yang disebut ganyang.
Secara teknis, pertahanan Indonesia jelas menjadi titik kelemahan, terlebih sayap kiri. Tiga gol Malaysia lahir dari sebab hal tersebut. Harus diakui!
Secara mental, tiga gol mudah Malaysia meruntuhkan mental pemain-pemain Indonesia. Persoalan mental sangat sulit diatasi oleh pelatih sekalibur apa pun. Hal tersebut terjadi juga baru-baru ini ketika tim besar LA Lakers dibungkam 77-98 oleh Milwaukee Bucks di kandang sendiri karena Kobe Bryant, Lamar Odom, dan Paul Gasol frustasi. Pelatih Pill Jackson ‘tak mampu mengatasinya.
Secara agama, saya ingin mengatakan bahwa doa orang Malaysia lebih makbul dibandingkan doa orang Indonesia -itu pun kalau pembaca sekalian memercayai kekuatan doa-, sebab tidak ada sejarahnya doa koruptor diterima. Memang di Malaysia ada juga koruptor, namun tidak sesistemik Indonesia. Setidaknya itulah yang dinilai oleh Bank Dunia.
Persoalan sinar laser, saya sendiri tidak terlalu mempermasalahkannya. Tidak ada hubungannya sinar laser dengan main bola. Toh, ketika main di Senayan banyak juga pendukung Indonesia yang memancarkan sinar laser. Jadi, jangan salahkan sinar laser!
Saya orang Indonesia, tapi saya anti-nasionalisme, saya juga tidak pernah suka dengan jargon: Ganyang Malaysia! Kekalahan Indonesia harus diterima sebagai sesuatu yang wajar, faktor teknis dan mental. Olahraga tidak pernah mengenal politik dan provokator. Say No To Racism,jargon olahraga. Nasionalisme tidak ada bedanya dengan rasisme.
Selamat kepada Malaysia! Indonesia, masih ada kesempatan 2 x 45 menit membalas di Senayan. Belajarlah dari Liverpool yang membalikkan keunggulan 3-0 Ac Milan dalam waktu 6 menit.
Say No To Racism, Say No To Nationalism!


kompas.com/kompasiana

Nasionalisme pemuda Indonesia perlu segera dipupuk

Rasa bangsa sebagai bagian dari Bangsa Indonesia dikalangan generasi muda perlu terus dipupuk, disaat adanya kesan perubahan kadar dan nilai rasa nasionalisme para pemuda belakangan ini.

"Kami merasakan penurunan semangat kawan-kawan ketika menyambut peringatan  HUT Proklamasi Kemerdekaan RI beberapa tahun belakangan, itu bisa diartikan tanda-tanda dan  perlu disikapi agar tidak berimbas para penurunan rasa nasionalisme," kata Sandi Rustandi Adriano, seorang aktivis pemuda di Bandung.

Dia mencontohkan, suasana pergaulan kepemudaan Kampung Bojong, Kelurahan Batununggal, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung jauh berbeda saat menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan beberapa tahun lalu.

Tidak salah bila ada kesan kaum muda sekarang sebagian sudah tidak peduli lagi terhadap perjuangan para pahlawan pendahulu  yang telah merebut kemerdekaan dengan banyak berkorban termasuk nyawa.



Lintas berita.com

Menurut  lelaki beranak dua itu,  bila kaum muda sudah tidak perduli lagi terhadap peringatan hari ulang tahun kemerdekaan negaranya, maka nasionalisme mereka pun patut dipertanyakan.

"Kita ini sudah hidup enak, hidup di alam merdeka. Apa susahnya sih sekadar menggealar sebuah kegiatan untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan negara kita sendiri sambil mengenang jasa para pahlawan," ucapnya.

Tanpa melalui jasa para pahlawan, menurut Adi bangsa Indonesia belum tentu bisa memiliki kemerdekaan dalam banyak hal, termasuk merdeka dalam mencari nafkah, menuntut ilmu, dan merdeka dalam beragama.

Ia mengaku tidak habis  pikir kenapa masih ada kaum muda yang belum bisa menghargai jasa para pahlawan negara dan bangsanya sendiri. 

Padahal sekarang  tidak perlu angkat senjata seperti dilakukan para pendahulu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Dalam kesempatan terpisah guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Gunungdjati Bandung Afif Muhammad, menilai kaum muda negeri ini  sekarang sudah mendapatkah lebih banyak hal daripada kaum muda di zamannya.

"Rasanya dibanding zaman kita dulu, mereka sekarang sudah mendapat lebih banyak dari kita dulu, tapi  mereka terlalu banyak menuntut tanpa mau berbuat," katanya.

Kamis, 16 Desember 2010

Nasionalisme dan Patriotisme di era Global

MEMBANGUN SEMANGAT NASIONALISME DAN PATRIOTISME DI ERA GLOBAL


Pergeseran Makna
Menjelang perayaan peringatan 65 tahun Proklamasi Kemerdekaan RI beberapa waktu dekat ini, muncul kembali diskusi tentang nasionalisme, patriotisme, dan semangat kebangsaan. Meskipun tidak sehangat yang terjadi di masa-masa sebelumnya, diskusi mengenai nasionalisme di masa sekarang kembali berada pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih subtantif dan mendasar. Hal ini sama sekali berbeda dengan pembahasan nasionalisme yang terjadi di masa awal kemerdekaan dan masa Orde Baru. Pada masa awal kemerdekaan hingga Orde Baru, pembahasan mengenai nasionalisme masih menggunakan konteks sejarah Perang Dunia II. Dengan konteks tersebut pembahasan nasionalisme dan patriotisme bukanlah suatu yang njlimet karena masih menggunakan perspektif yang sederhana.
Kini, ketika globalisasi dan berkembangnya teknologi informasi telah mengakibatkan kaburnya batas-batas antar negara (baik secara politik, ekonomi, maupun sosial), masalah nasionalisme dan patriotisme tidak lagi dapat dilihat sebagai masalah sederhana yang dapat dilihat dari satu perspektif saja. Dalam dunia yang oleh sebagian orang disifatkan sebagai dunia yang semakin borderless, banyak pengamat yang mulai mempertanyakan kembali pengertian negara beserta aspek-aspeknya.
Contoh nyata yang menarik dapat diambil dari kasus berikut: sekitar awal 1999 terjadi unjuk rasa kecil yang dilakukan sekelompok ormas terhadap LSM yang konsen pada masalah HAM. Para pengunjuk rasa menuding para aktifis LSM tersebut tidak memiliki jiwa nasionalisme karena dinilai telah menjadi agen kepentingan asing di Indonesia. Para pengunjuk rasa melihat bahwa sebagian besar atau seluruh aktifitas LSM-LSM tersebut mendapat dukungan dari lembaga donor asing. Sebagai konsekuensinya, LSM-LSM tersebut harus menjalankan agenda yang menjadi “titipan” lembaga asing tersebut. Akibatnya, beberapa persoalan dalam negeri Indonesia kemudian menjadi sorotan internasional. Mereka membeberkan beberapa kasus yang mereka nilai sebagai pelanggaran HAM berat. Citra Indonesia pun menjadi tercemar di pergaulan internasional. Bahkan, lepasnya Timor Timur dari NKRI merupakan andil dari LSM-LSM tersebut.
Dalam unjuk rasa tersebut, salah seorang pimpinan LSM meminta beberapa orang perwakilan pengunjuk rasa untuk masuk ke ruangan untuk diajak berdialog. Selepas berdialog, sang pemimpin LSM didampingi perwakilan pengunjuk rasa kemudian berorasi di depan para pengunjuk rasa. Dengan berapi-api, sang pimpinan LSM menyampaikan bahwa dia dan teman-teman juga memiliki rasa nasionalisme. Namun pengertian nasionalisme yang mereka pahami tidaklah sama dengan yang disampaikan pengunjuk rasa. Kiprah mereka selama ini di LSM justru merupakan perwujudan nasionalisme mereka. Mereka ingin agar Indonesia setaraf dengan negara lain, terutama dalam masalah penghormatan terhadap HAM. Setelah mendengarkan orasi tersebut, para pengunjuk rasa terlihat masygul dan mereka pun pulang tanpa dapat berkata-kata lagi.
Kejadian tersebut merupakan bukti betapa persoalan nasionalisme dan patriotisme telah memiliki logika yang tidak lagi sederhana sebagaimana dipahami di masa-masa sebelumnya. Jika menggunakan perspektif lama, tudingan rendahnya nasionalisme yang diarahkan terhadap para aktifis LSM tersebut sebenarnya cukup masuk akal dan didasari fakta. Namun ketika dilihat dalam perspektif globalisasi, logika tersebut gampang sekali dipatahkan.
Persoalan nasionalisme dan patriotisme di era global sebenarnya bukan hanya masalah yang dialami oleh Indonesia. Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya dengan kekuatan politik, ekonomi, budaya, dan hankam yang tak tertandingi pun harus berdaya upaya sekeras-kerasnya dalam membangun semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan warganya. Demikian pula dengan negara-negara lain. Bahkan Malaysia, misalnya, beberapa waktu belakangan ini tengah ramai diskusi dan program tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme di negara tersebut.
Jika kita menuliskan kata-kata: “patriotisme” atau “semangat kebangsaan” di program pencarian situs internet (seperti: Google), maka hampir sebagian besar dipenuhi situs-situs dari negeri jiran tersebut. Situs-situs dari Malaysia ini tidak hanya berasal dari kementerian dalam negeri atau departemen pertahanan di sana, tetapi juga dari departemen pendidikan, organisasi politik, lembaga kajian, dan swasta. Sedangkan situs dari Indonesia hanya sedikit, rata-rata berasal dari situs TNI, Dephan, atau Bappenas. Itupun sebagian merupakan arsip dari GBHN atau Repelita di masa Orde Baru.
Memperhatikan kenyataan di atas dimana masalah pembangunan nasionalisme dan patriotisme saat ini tengah menghadapi tantangan yang berat, maka perlu dimulai upaya-upaya untuk kembali mengangkat tema tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme. Apalagi di sisi lain, pembahasan atau diskusi tentang nasionalisme dan patriotisme di Indonesia justru kurang berkembang (atau mungkin memang kurang dikembangkan).
Beberapa Pandangan tentang Nasionalisme dan Patriotisme
Nasionalisme adalah masalah yang fundamental bagi sebuah negara, terlebih-lebih jika negara tersebut memiliki karakter primordial yang sangat pluralistik.Klaim telah dicapainya bhinneka tunggal ika, apalagi lewat politik homogenisasi,sebetulnya tidak pernah betul-betul menjadi realitas historis, melainkan sebuah agenda nation-building yang sarat beban harapan. Oleh sebab itu, ia kerap terasa hambar.
Dengan penafsiran tersendiri, ini merupakan bentuk imagined society seperti istilah Benedict Anderson. Benedict Anderson (1999) menggunakan istilah imajinasi untuk menggambarkan kemiripan makna tentang fantasi. Penjelasannya lebih condong menggunakan analisis sejarah politik untuk menjelaskan kaitan antara imajinasi kolektif yang mengikat suatu komunitas. Orang disatukan sebagai suatu negara karena persamaan identitas darah, ideologi, dan kepentingan. Kalau mau jujur, gagasan Indonesia sebagai negara adalah produk kolonialisme. Kesatuan teritori dagang di bawah Belanda, Inggris, kemudian diambil alih Jepang dan diwariskan ke pemerintahan bersama warga lokal yang bernama Indonesia.
Indonesia adalah laboratorium sosial yang sangat kaya karena pluralitasnya, baik dari aspek ras dan etnis, bahasa, agama dan lainnya. Itu pun ditambah  status geografis sebagai negara maritim yang terdiri dari setidaknya 13.000 pulau. Bahwa pluralitas di satu pihak adalah aset bangsa jika dikelola secara tepat, di pihak lain ia juga membawa bibit ancaman disintegrasi. Karakter pluralistik itu hanya suatu pressing factor dalam realitas ikatan negara.
Negara itu sendiri pada hakikatnya merupakan social contract, seperti istilah Rousseauyang secara intrinsik selalu memiliki tantangan disintegrasi. Yang menjadi soal, seberapa besar  derajat ancaman itu dan sebarapa baik manajemen penyelesaiannya. Ada faktor contagion, bahwa langkah yang satu dapat ditiru yang lain, akan memperkuat tekanan itu terlebih-lebih bila masing-masing mengalami pengalaman traumatik yang mirip.
Konsepsi pembentukan Indonesia sendiri memang lebih relevan, seperti istilah David Beetham, sebagai sebuah produk historis, bukan a fact of nature. Ini selaras dengan asumsi bahwa “semua wilayah nusantara bekas jajahan Belanda adalah wilayah Indonesia”. Dengan demikian masalah legalitas wilayah terpecahkan secara lebih mudah dan diterima oleh rakyatnya maupun komunitas internasional. Lewat landasan yang sama, maka rasional untuk memisahkan diri bagi bagian-bagian wilayah yang termasuk bekas jajahan Belanda itu tidak kuat.
Perlu dicatat bahwa cita-cita kolektif melalui pembentukan suatu negara antara lain merupakan itikad mulia untuk bekerja sama senasib sepenanggungan melalui kerangka nasionalisme dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat. Nasionalisme itu sendiri sebetulnya adalah pendefenisian identitas kebangsaan dengan siapa kita ingin bekerja bersama dalam mencapai bonum publicum, apakah karena ikatan etnis, agama, wilayah/teritorial atau lainnya atau kombinasi sebagian atau seluruhnya. Seperti kata Ernst Gellner, ada rasional pembangunan sebagai alasan eksistensi negara.
Soekarno dianggap paling mewakili semangat patriotisme dan nasionalisme generasi muda Indonesia di masanya. Baginya, martabat dan identitas diri sebagai bangsa merdeka sangat penting. Proklamator Kemerdekaan Indonesia lainnya, Bung Hatta pernah mengutip pandangan Prof. Kranenburg dalam Het Nederlandsch Staatsrech, “Bangsa merupakan keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena persamaan nasib, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, dan oleh karena jasa bersama. Pendeknya, oleh karena ingat kepada riwayat (sejarah) bersama yang tertanam dalam hati dan otak”.
Dalam perspektif yang kurang lebih sama, Jenderal Ryamizard Ryacudu yang saat menjabat sebagai KSAD sangat getol memompakan semangat patriotik kepada berbagai kalangan menyatakan bahwa rasa kebangsaan merupakan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tumbuh secara alamiah karena adanya kesamaan budaya, sejarah dan aspirasi perjuangan yang membuahkan semangat untuk maju bersama. Dari semangat kebangsaan akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Dalam perspektif seperti itu, menurut Ryamizard,  kita akan mampu meneriakkan kata-kata: ‘Merdeka atau Mati’ dengan penuh penghayatan yang sebenarnya.
Di sini, kepentingan terhadap nasionalisme dipupuk dengan sikap patriotisme yang tinggi. Nasionalisme tidak harus hidup dalam bayang-bayang—memakai bahasa Benedict Anderson, imagined community—tetapi harus dilaburi dengan sikap jujur dan berani mengambil risiko. Seluruh kelompok intelektual muda Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan ambil peran dalam partai-partai dan organisasi-organisasi pergerakan.
Perspektif yang sedikit berbeda tentang nasionalisme dan patriotisme dikemukakan oleh pakar ilmu sosial Dr. Gandung Ismanto. Dia menyampaikan bahwa semangat kebangsaan atau nasionalisme merupakan hal yang terus berkembang seiring dengan tantangan dan kemajuan zaman. Semangat kebangsaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan situasi yang sedang terjadi pada masanya. Di situlah rasa kebangsaan menampakkan relativismenya karena dia digelorakan oleh manusia yang juga relatif. Jadi, menurut Gandung, kita akan gagal dan kecewa bila berharap semangat dan rasa nasionalisme para pelaku sejarah Proklamasi tahun 1945 harus sama persis dengan semangat nasionalisme generasi sekarang.
Meskipun demikian Gandung melihat ada benang merah dari semangat kebangsaan antargenerasi yang hidup di sepanjang zaman yakni pada intinya semangat kebangsaan merupakan upaya kolektif untuk memerdekakan diri, suatu upaya pencarian identitas baru agar bisa maju bersama menuju kehidupan ideal yang dicita-citakan. Kehendak bebas untuk menentukan identitas diri merupakan hak yang tidak dapat dicabut dari diri seseorang maupun dari suatu bangsa oleh pihak mana pun.

Strategi Penguatan Nasionalisme dan Patriotisme di Era Global
Berdasarkan berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa semangat nasionalisme dan patriotisme sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa agar setiap elemen bangsa bekerja dan berjuang keras mencapai jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa ini merupakan modal yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan dan hambatan di masa depan. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme dalam konteks globalisasi saat ini harus lebih dititikberatkan pada elemen-elemen strategis dalam percaturan global. Oleh karena itu, strategi yang dapat dilakukan antara lain:
  1. Penguatan peran lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dalam ikut membangun semangat nasionalisme dan patriotisme, terutama di kalangan generasi muda. Sebagai contoh: Gerakan Pramuka. Sebagai catatan, keberhasilan Gerakan Pramuka dalam membangun semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan generasi muda Indonesia tengah menjadi kajian mendalam di Malaysia untuk diterapkan di sana. Generasi muda adalah elemen strategis di masa depan. Mereka sepertinya menyadari bahwa dalam era globalisasi, generasi muda dapat berperan sebagai subjek maupun objek.
  2. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme pada masyarakat  yang tinggal di wilayah-wilayah yang dalam perspektif kepentingan nasional dinilai strategis, seperti: daerah perbatasan, kawasan industri strategis, daerah pertanian (logistik), serta daerah penghasil bahan tambang dan hasil hutan. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkecil kesenjangan ekonomi, sosial, dan budaya di wilayah tersebut melalui berbagai program pendidikan dan pembinaan yang melibatkan peran masyarakat setempat.
  3. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme pada masyarakat yang hidup di daerah rawan pangan (miskin), rawan konflik, dan rawan bencana alam. Strategi ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan berbagai program yang diorientasikan pada peningkatan kesetiakawanan sosial dan partisipasi masyarakat.
  4. Peningkatan apresiasi terhadap anggota atau kelompok masyarakat yang berusaha melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa. Demikian pula dengan anggota atau kelompok masyarakat yang berhasil mencapai prestasi yang membanggakan di dunia internasional. Apresiasi ini dapat dilakukan dengan pemberian penghargaan oleh negara dan kemudian prestasinya diangkat oleh media massa.
Peningkatan peran Pemerintah dan masyarakat RI dalam ikut berperan aktif dalam penyelesaian berbagai persoalan regional dan internasional, seperti: penyelesaian konflik, kesehatan, lingkungan hidup, dan lain-lain.