Jakarta - Sebagai negara, Indonesia memiliki simbol-simbol kenegaraan yang harus dihormati setiap warga negaranya, tanpa kecuali. Simbol itu adalah kepala negara yaitu presiden, bahasa negara yaitu Bahasa Indonesia, bendera negara yaitu bendera Merah Putih dan lambang negara yaitu Burung Garuda.
Dari 4 simbol negara diatas, mungkin hanya Kepala Negara dan Bendera Negara saja yang pemakaiannya sudah pantas. Tapi bagaimana dengan dua lambang lainnya yaitu bahasa negara dan lambang negara?
Sebuah kresek putih tergeletak di meja staff karyawan sebuah institusi negara. Dalam
kresek plastik itu, terdapat lambang negara Burung Garuda dengan tulisan besar di atasnya, POLIKLINIK. Padahal, umumnya lambang kesehatan/ kedokteran adalah ular melingkar.
"Loh, ini kan poliklinik di lembaga negara. Lembaga negaranya juga pakai logonya lambang Burung Garuda. Ya polikliniknya ikutan juga," kata sang empunya kresek berdalih.
Burung Garuda kini juga melekat di kartu nama pejabat. Beberapa pejabat lembaga negara, masih menyematkan Burung Garuda di atas nama serta jabatan. Bahkan, kadangkala Burung Garuda tercetak tebal dengan tinta emas.
Lambang negara ini juga nampak berkibar di sebuah spanduk yang dibentangkan di jembatan penyeberangan. Pasalnya, sebuah institusi pemerintah yang menggunakan Burung Garuda sedang mengajak masyarakat memerangi narkoba. Namun, empunya spanduk mungkin lupa, jika Burung Garuda tersebut rusak, lusuh, kotor karena terkena panas dan hujan, siang dan malam.
Tak berbeda jauh dari fakta di atas, sebuah lambang garuda juga kotor dan lusuh karena di tempel di spark board sepeda motor. Menerjang guyuran hujan, kena kotoran jalan, terkena lumpur got. Di sekeliling Burung Garuda tersebut, lagi- agi nampak tertulis sebuah lembaga negara.
Kini, Burung Garuda juga sering terlihat menempel di atas/ samping plat No Pol mobil.
Terdapat tulisan institusi negara di seputaran Burung Garuda. Sepintas nampak gagah,
menunjukan identitas sang empunya kendaraan.
Pun demikian, seiring trend sekolah Internasional, Bahasa Indonesia ikut tergerus zaman. Entah murni untuk meningkatkan kualitas atau buat prestise semata, kini bahasa asing telah menggeser Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Seakan-akan, ketika orang cas cic cus fasih berbicara bahasa asing, sudah merasa pintar. Padahal, keilmuan dinilai dari logika berpikir, bukan dari bahasa lisan.
Perlakuan kepada dua simbol negara ini seperti perlakuan layaknya kisah Bawang Merah kepada Bawan Putih. Lihatlah ketika Bendera Merah Putih dikibarkan atau diturunkan di Pos Polisi Bundaran HI, Jalan MH Thamrin Jakarta. Orang yang kebetulan melintas berjalan kaki dilarang melintas hingga prosesi berakhir.
Hal ini juga berlaku di berbagai instansi pemerintah, kepolisian, militer atau pendidikan. Norma ini juga diberlakukan ketika Kepala Negara lewat, jalanan ditutup untuk memberikan kesempatan Kepala Negara lewat.
Sang Saka Merah Putih pun dilarang dikibarkan jika dalam kondisi robek, kotor atau sudah tidak pantas.
Tentang hal-hal diatas, negara lewat UU telah mengatur pemakaian simbol-simbol negara tersebut. Sepakat tidak sepakat, UU telah berbicara demikian adanya. Simbol negara harus dijaga.
Bukan menyakralkan tapi sebagai penghormatan dan syukur kepada Tuhan bahwa kita hidup di Indonesia. Sebuah bentuk peradaban tertinggi suatu masyarakat.
Kita boleh saja sangat mencintai Timnas Indonesia karena sukses di laga Piala AFF 2010. Tapi, jangan menjadi cinta buta, nasionalis semu karena Burung Garuda di Timnas digugat oleh orang yang mengingatkan rambu-rambu pemakaiannya.
Toh, kalau memang berkualitas, menggunakan logo federasi sepakbola nasional pun, layaknya timnas negara lain, pasti Timnas menang. Karena tafsir lagu Garuda Di Dadaku jangan diartikan secara eksplisit, namun implisit.
Sebagai penutup, saya tidak pernah memakai baju dengan lambang negara, tapi semangat Burung Garuda itu selalu ada dalam dada.
*) Andi Saputra, wartawan.
detikcom.
Minggu, 26 Desember 2010
Sepakbola dan Nasionalisme
Bulan ini Indonesia mendadak dilanda demam sepakbola, meskipun piala dunia 2010 sudah berakhir beberapa bulan lalu. Itu terjadi setelah kemenangan berturut-turut dalam bapak penyisihan piala AFF. Diawali dari kemenangan besar 5-1 atas Malaysia, membantai Laos 6-0 dan terakhir menandukkan Thailand 2-1 jelas tidak bisa dianggap sebagai keberuntungan. Berita-berita di koran dan televisi mulai diwarnai dengan eforia prestasi sepakbola kita yang selama ini sangat terpuruk.
Berbeda dengan demam sepakbola di musim Piala Dunia, di mana dukungan masyarakat terpecah bagi tim-tim luar negeri yang berlaga, kali ini dukungan seluruh rakyat terpusat untuk timnas Indonesia. Kalau dulu aku sempat kesulitan, bahkan belum pernah, menemukan kaos timnas terjual dipinggir jalan, belakangan ini dengan mudah aku bisa menemukan kaos timnas sepakbola kita di pinggir jalan. Malahan menjelang pertandingan leg kedua antara Indonesia melawan Filipina diberitakan adanya antrian pedagang, bukan pembeli, yang ingin membeli kaos timnas untuk dijual kembali karena tergiur keuntungan dua kali lipat. Ini akibat antusiasme masyarakat Indonesia, baik di Jakarta maupun di luar ibu kota untuk memberi dukungan kepada timnas. Selain itu, di kampung juga mulai terlihat anak-anak bermain sepakbola, dan sesekali meneriakkan yel-yel “Indonesia”, “Garuda di dadaku”, dan menyebut nama-nama pemain timnas seperti Gonzales, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas dan lainnya.
Antrian masyarakat untuk bisa menyaksikan pertandingan secara langsung pun tak terelakkan, meskipun harga tiket pertandingan melambung. Beberapa kalangan menganggap tindakan PSSI menaikkan harga tiket ini dirasa tidak mendukung timnas dilihat dari antisiasme masyarakat dalam mendukung timnas. Namun PSSI tetap diam saja, malah dalam pertandingan kedua sepertinya tiket dinaikkan. Tapi tetap saja, dukungan masyarakat bagi sepakbola Indonesia tidak surut di tengah kekacauan dalam tubuh PSSI. Kekacauan itu masih terlihat dalam penjualan tiket untuk laga kedua semifinal AFF ini. Para pendukung timnas yang sudah berlelah-lelah mengantri dengan tertib akhirnya gagal mendapat tiket pertandingan karena loket tidak segera dibuka. Sangat disayangkan, anarkisme tidak bisa dihindari. Masyarakat mulai melakukan perusakan kantor PSSI dan juga membakar bendera PSSI tersebut sebagai wujud kekecewaan. Tindakan anarkis jelas tidak bisa dibenarkan apapun alasannya, namun PSSI seharusnya bisa introspeksi.
Sebagai satu-satunya organisasi yang menaungi sepakbola nasional, meskipun tanpa campur tangan pemerintah, harusnya PSSI bisa lebih profesional dan mengutamakan nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri, kebangkitan sepakbola nasional ini turut membangkitkan rasa nasionalisme dan persatuan masyarakat. Seharusnya PSSI bisa lebih mengakomodir euforia masyarakat ini dengan banyak memberi kemudahan, bukan hanya mencari untuk sebesar-besarnya. Setidaknya ada dua hal yang seharusnya diperbaiki dari PSSI terkait penyelenggaraan pertandingan AFF ini, juga untuk pertandingan-pertandingan selanjutnya.
Pertama dalam penjualan tiket. Penjualan yang dilakukan secara terpusat di Senayan jelas menimbulkan antrian yang banyak dan bisa memacu keributan. Ada baiknya kalau tempat penjualan tiket bisa disebar di berbagai tempat dan sebagian lagi dilakukan secara online. Tentu mekanismenya harus ketat untuk menghindari praktek per-calo-an yang masih menjadi penyakit masyarakat. Siang tadi sempat menyaksikan adanya orang yang dihajar massa gara-gara diduga sebagai calo. Soalnya sekalipun tiket dijual terpusat, praktek percaloan tetap tidak bisa dihindari, disinilah perlu kerjasama dengan aparat kepolisian untuk mencegah hal ini terjadi.
Hal kedua yang perlu diperbaiki dari PSSI adalah dukungan bagi penonton yang bukan hanya penggemar bola namun juga pendukung timnas yang sedang bertanding. Bagi banyak pihak, dukungan ini adalah wujud nasionalisme masyarakat. Dari pengalaman laga kedua semifinal antara Indonesia - Filipina, jelas bahwa tidak semua pendukung akan bisa masuk ke stadion. Alangkah baiknya kalau di sekitar stadion dibuat semacam layar tancap sehingga masyarakat juga bisa menyaksikan pertandingan meskipun tidak secara langsung di dalam stadion. Kalau sewaktu demam piala dunia banyak sekali acara nonton bareng digelar, seharusnya acara inipun bisa digelar di berbagai tempat di ibukota untuk mengurangi kepadatan penonton di senayan. Oke, ini memang bukan tugas PSSI, namun sebagai pengayom persepakbolaan nasional, seharusnya mereka juga memikirkan hal ini. Pastilah tidak sulit untuk menggandeng sponsor yang mau menjadi mitra, apalagi kalau ditambah dengan alasan nasionalisme.
Tidak bisa dipungkiri, olahraga bisa membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat. Tidak hanya sepakbola, namun juga bulutangkis dan tinju. Sayang sekali prestasi kita setelah reformasi bergulir nampaknya demikian merosot meskipun dukungan masyarakat tidak pernah surut. Memang, waktu final piala Asia terakhir, banyak masyarakat yang begitu kecewa terhadap timnas yang gagal di penyisihan grup meskipun sempat menang atas Bahrain. Namun saat ini, meskipun hanya di kancah regional Asia Tenggara, terbukti sepakbola bisa membangkitkan kembali antusiasme masyarakat dan semangat nasionalisme. Kebanggaan akan merah putih dan garuda terasa membara. “Garuda di dadaku”, akan terus bergema sampai penghujung tahun ini. Semoga saja kali ini Indonesia bisa juara!
detik.com
Tags: nasionalisme, sepakbola
Berbeda dengan demam sepakbola di musim Piala Dunia, di mana dukungan masyarakat terpecah bagi tim-tim luar negeri yang berlaga, kali ini dukungan seluruh rakyat terpusat untuk timnas Indonesia. Kalau dulu aku sempat kesulitan, bahkan belum pernah, menemukan kaos timnas terjual dipinggir jalan, belakangan ini dengan mudah aku bisa menemukan kaos timnas sepakbola kita di pinggir jalan. Malahan menjelang pertandingan leg kedua antara Indonesia melawan Filipina diberitakan adanya antrian pedagang, bukan pembeli, yang ingin membeli kaos timnas untuk dijual kembali karena tergiur keuntungan dua kali lipat. Ini akibat antusiasme masyarakat Indonesia, baik di Jakarta maupun di luar ibu kota untuk memberi dukungan kepada timnas. Selain itu, di kampung juga mulai terlihat anak-anak bermain sepakbola, dan sesekali meneriakkan yel-yel “Indonesia”, “Garuda di dadaku”, dan menyebut nama-nama pemain timnas seperti Gonzales, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas dan lainnya.
Antrian masyarakat untuk bisa menyaksikan pertandingan secara langsung pun tak terelakkan, meskipun harga tiket pertandingan melambung. Beberapa kalangan menganggap tindakan PSSI menaikkan harga tiket ini dirasa tidak mendukung timnas dilihat dari antisiasme masyarakat dalam mendukung timnas. Namun PSSI tetap diam saja, malah dalam pertandingan kedua sepertinya tiket dinaikkan. Tapi tetap saja, dukungan masyarakat bagi sepakbola Indonesia tidak surut di tengah kekacauan dalam tubuh PSSI. Kekacauan itu masih terlihat dalam penjualan tiket untuk laga kedua semifinal AFF ini. Para pendukung timnas yang sudah berlelah-lelah mengantri dengan tertib akhirnya gagal mendapat tiket pertandingan karena loket tidak segera dibuka. Sangat disayangkan, anarkisme tidak bisa dihindari. Masyarakat mulai melakukan perusakan kantor PSSI dan juga membakar bendera PSSI tersebut sebagai wujud kekecewaan. Tindakan anarkis jelas tidak bisa dibenarkan apapun alasannya, namun PSSI seharusnya bisa introspeksi.
Sebagai satu-satunya organisasi yang menaungi sepakbola nasional, meskipun tanpa campur tangan pemerintah, harusnya PSSI bisa lebih profesional dan mengutamakan nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri, kebangkitan sepakbola nasional ini turut membangkitkan rasa nasionalisme dan persatuan masyarakat. Seharusnya PSSI bisa lebih mengakomodir euforia masyarakat ini dengan banyak memberi kemudahan, bukan hanya mencari untuk sebesar-besarnya. Setidaknya ada dua hal yang seharusnya diperbaiki dari PSSI terkait penyelenggaraan pertandingan AFF ini, juga untuk pertandingan-pertandingan selanjutnya.
Pertama dalam penjualan tiket. Penjualan yang dilakukan secara terpusat di Senayan jelas menimbulkan antrian yang banyak dan bisa memacu keributan. Ada baiknya kalau tempat penjualan tiket bisa disebar di berbagai tempat dan sebagian lagi dilakukan secara online. Tentu mekanismenya harus ketat untuk menghindari praktek per-calo-an yang masih menjadi penyakit masyarakat. Siang tadi sempat menyaksikan adanya orang yang dihajar massa gara-gara diduga sebagai calo. Soalnya sekalipun tiket dijual terpusat, praktek percaloan tetap tidak bisa dihindari, disinilah perlu kerjasama dengan aparat kepolisian untuk mencegah hal ini terjadi.
Hal kedua yang perlu diperbaiki dari PSSI adalah dukungan bagi penonton yang bukan hanya penggemar bola namun juga pendukung timnas yang sedang bertanding. Bagi banyak pihak, dukungan ini adalah wujud nasionalisme masyarakat. Dari pengalaman laga kedua semifinal antara Indonesia - Filipina, jelas bahwa tidak semua pendukung akan bisa masuk ke stadion. Alangkah baiknya kalau di sekitar stadion dibuat semacam layar tancap sehingga masyarakat juga bisa menyaksikan pertandingan meskipun tidak secara langsung di dalam stadion. Kalau sewaktu demam piala dunia banyak sekali acara nonton bareng digelar, seharusnya acara inipun bisa digelar di berbagai tempat di ibukota untuk mengurangi kepadatan penonton di senayan. Oke, ini memang bukan tugas PSSI, namun sebagai pengayom persepakbolaan nasional, seharusnya mereka juga memikirkan hal ini. Pastilah tidak sulit untuk menggandeng sponsor yang mau menjadi mitra, apalagi kalau ditambah dengan alasan nasionalisme.
Tidak bisa dipungkiri, olahraga bisa membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat. Tidak hanya sepakbola, namun juga bulutangkis dan tinju. Sayang sekali prestasi kita setelah reformasi bergulir nampaknya demikian merosot meskipun dukungan masyarakat tidak pernah surut. Memang, waktu final piala Asia terakhir, banyak masyarakat yang begitu kecewa terhadap timnas yang gagal di penyisihan grup meskipun sempat menang atas Bahrain. Namun saat ini, meskipun hanya di kancah regional Asia Tenggara, terbukti sepakbola bisa membangkitkan kembali antusiasme masyarakat dan semangat nasionalisme. Kebanggaan akan merah putih dan garuda terasa membara. “Garuda di dadaku”, akan terus bergema sampai penghujung tahun ini. Semoga saja kali ini Indonesia bisa juara!
detik.com
Tags: nasionalisme, sepakbola
TUTUR KATAMU CERMINAN JIWA NASIONALISME
Nationalism, postingan kali ini saya akan menulis tentang nasionalisme. Menurut L. Stoddard yang say a baca dari buku PPKn, Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian terbesar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa. Kita adalah bangsa Indonesia yang menganut sistem nasionalisme Pancasila. Pada prinsipnya nasionalisme Pancasila adalah pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa:
Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa:
- menempatkan persatuan – kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan;
- menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara;
- bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri;
- mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa;
- menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia;
- mengembangkan sikap tenggang rasa;
- tidak semena-mena terhadap orang lain;
- gemar melakukan kegiatan kemanusiaan;
- senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan;
- berani membela kebenaran dan keadilan;
- merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia; dan
- menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Kenapa saya tertarik menulis tentang nasionalisme. Ini ada cerita yang mendasarinya. Hari ini saya mendengar perbincangan antar laborat di sekolah saya dengan salah satu siswa. Bukan niat hati untuk menguping namun volume bicara mereka terlalu besar sehingga wajar saja jika saya dan teman-teman yang kebetulan berada di situ mendengar pembicaraan mereka.Mereka berbicara dalam Bahasa Inggris, awalnya saya agak kesulitan memahaminya. Namun lama kelamaan saya mengerti inti dari pembicaraan mereka. Laborat itu meminta pada siswa untuk menggunakan Bahasa Inggris setiap kali berbicara dengannya. Sang siswa menolak, ia beralasan bahwa ia belum lancar berbahasa Inggis. Si laborat tetap kukuh, siswa itu harus menggunakan bahasa inggris setiap kali berbicara dengannya.
Pembicaraan itu membuatku berpikir, sebenarnya baik nggak sih berbicara menggunakan bahasa asing di negara sendiri ? Lantas siapa yang akan menggunakan bahasa kita (Bahasa Indonesia) ? Orang asing ? Saya tersenyum sinis di tengah lamunan saya.
Bayangkan, di saat kita menyerukan nasionalisme, ada beberapa pihak yang dengan bangga mencetuskan untuk menggunakan Bahasa Inggris dalam pergaulan sehari-hari. Memang kita diharapkan bisa menguasai beberapa bahasa khususnya bahasa asing. Tetapi bukan berarti kita harus menggunakan bahasa asing di negara sendiri. Inilah yang menjadi hambatan bangsa kita. Bagaimana kita bisa maju jika kita terus-terusan memuja (menggunakan) produk asing ?
Harusnya kita bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Ada saatnya kita menggunakan bahasa asing namun, ada waktunya sendiri. Misal : saat kita pergi ke salah satu objek wisata lalu kita bertemu dengan orang asing. Ia meminta kita untuk menjelaskan tentang objek wisata tersebut. Jelas kita harus menggunakan bahasa inggris. Karena orang asing tersebut pastinya tidak bisa berbahasa Indonesia. Dan masih banyak contoh situasi yang pas saat kita menggunakan bahasa asing.
Jadi, tutur ucapan juga mempengaruhi kemajuan bangsa kita. Jangan sampai kita asyik dengan bahasa asing lalu orang asing mencuri bahasa kita. Kalau sampai itu terjadi, maka PENJAJAHAN terhadap bangsa Indonesia telah dimulai kembali. Tentunya kita tidak menginginkan hal tersebut, kan?
Demikian tulisan saya, semoga bisa menjadi motivasi untuk semua warga Indonesia.
Pembicaraan itu membuatku berpikir, sebenarnya baik nggak sih berbicara menggunakan bahasa asing di negara sendiri ? Lantas siapa yang akan menggunakan bahasa kita (Bahasa Indonesia) ? Orang asing ? Saya tersenyum sinis di tengah lamunan saya.
Bayangkan, di saat kita menyerukan nasionalisme, ada beberapa pihak yang dengan bangga mencetuskan untuk menggunakan Bahasa Inggris dalam pergaulan sehari-hari. Memang kita diharapkan bisa menguasai beberapa bahasa khususnya bahasa asing. Tetapi bukan berarti kita harus menggunakan bahasa asing di negara sendiri. Inilah yang menjadi hambatan bangsa kita. Bagaimana kita bisa maju jika kita terus-terusan memuja (menggunakan) produk asing ?
Harusnya kita bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Ada saatnya kita menggunakan bahasa asing namun, ada waktunya sendiri. Misal : saat kita pergi ke salah satu objek wisata lalu kita bertemu dengan orang asing. Ia meminta kita untuk menjelaskan tentang objek wisata tersebut. Jelas kita harus menggunakan bahasa inggris. Karena orang asing tersebut pastinya tidak bisa berbahasa Indonesia. Dan masih banyak contoh situasi yang pas saat kita menggunakan bahasa asing.
Jadi, tutur ucapan juga mempengaruhi kemajuan bangsa kita. Jangan sampai kita asyik dengan bahasa asing lalu orang asing mencuri bahasa kita. Kalau sampai itu terjadi, maka PENJAJAHAN terhadap bangsa Indonesia telah dimulai kembali. Tentunya kita tidak menginginkan hal tersebut, kan?
Demikian tulisan saya, semoga bisa menjadi motivasi untuk semua warga Indonesia.
Nasionalisme penting bagi pelajar
Jiwa nasionalisme atau cinta tanah air sudah sepatutnya tumbuh di setiap warga negara karena otomatis akan menjadi kekuatan dari negara tersebut. Banyak hal yang dapat menumbuhkan jiwa nasionalisme tersebut.
Bisa saja dengan melihat tim nasional bulutangkis menang dalam kejuaraan dunia, pelajar Indonesia meraih juara olimpiade matematika di Jepang atau ngeliat tayangan televisi yang beritanya melulu tentang aksi teror. Hal itu tentu akan semakin mempertinggi rasa cinta terhadap negara. Kalo udah cinta, pasti ingin selalu menjaga dan melindungi.
Tapi yang justru terjadi saat ini, jiwa nasionalisme malah semakin melempem seiring dengan perkembangan zaman. Banyak masyarakat kita yang lebih meniru aksi dan budaya asing yang teradopsi dan disiarkan secara bebas di media.
Demikian disampaikan oleh Drs Lilik Junaidi selaku Kepala SMA PAB 6 Medan. Lilik mengatakan, bahwa menipisnya jiwa nasionalisme masyarakat berdampak besar bagi pelajar, karena umumnya mereka sifatnya masih labil dan cenderung meniru apa yang mereka anggap hebat atau “gaul” dalam bahasa remaja.
Padahal, bagi kaum pelajar menumbuhkan dan menanamkan rasa nasionalisme cukup dengan melakukan kewajiban mereka, yaitu belajar. Selebihnya ya, jangan bertindak negatif, cukup berbuat sewajarnya adalah bentuk sikap patriotik. Nggak usah dengan senjata seperti zaman dulu.
Jiwa nasionalisme ini perlu ditekankan kepada pelajar karena merekalah yang akan memegang kekuasaan di negara ini. Jadi, dengan memiliki sikap nasionalisme mereka akan tau bagaimana seharusnya memimpin bangsa agar terus berkembang dan tidak terjajah lagi.
Selain itu, penting pula mengajarkan sejarah kepada pelajar agar mereka tau asal-usul negara ini dan betapa beratnya perjuangan para pahlawan plus mengetahui jati diri bangsa. Pernyataan Lilik diakui oleh Qiqi Sylvia. Qiqi mengaku banyak dari teman-temannya acuh nggak acuh terhadap keadaan negara. Padahal, sebagai pelajar yang juga warga negara haruslah peka terhadap masalah bangsa.
Menurut siswi berjilbab ini, jiwa nasionalisme itu sangat penting karena kemerdekaan dan nasionalisme adalah hal yang saling berkaitan. Dalam mengisi kemerdekaan harus dibarengi dengan nasionalisme agar kemerdekaan tersebut nggak sia-sia. Makanya pelajar kudu berbuat hal positif. Nah, kamu setuju nggak?
Teks:Menjadi anggota Paskibra merupakan salah satu bentuk sikap nasionalisme dan juga suatu kebanggaan tersendiri dapat menjadi tim pengibar sang saka Merah Putih.
waspada.co.id
Bisa saja dengan melihat tim nasional bulutangkis menang dalam kejuaraan dunia, pelajar Indonesia meraih juara olimpiade matematika di Jepang atau ngeliat tayangan televisi yang beritanya melulu tentang aksi teror. Hal itu tentu akan semakin mempertinggi rasa cinta terhadap negara. Kalo udah cinta, pasti ingin selalu menjaga dan melindungi.
Tapi yang justru terjadi saat ini, jiwa nasionalisme malah semakin melempem seiring dengan perkembangan zaman. Banyak masyarakat kita yang lebih meniru aksi dan budaya asing yang teradopsi dan disiarkan secara bebas di media.
Demikian disampaikan oleh Drs Lilik Junaidi selaku Kepala SMA PAB 6 Medan. Lilik mengatakan, bahwa menipisnya jiwa nasionalisme masyarakat berdampak besar bagi pelajar, karena umumnya mereka sifatnya masih labil dan cenderung meniru apa yang mereka anggap hebat atau “gaul” dalam bahasa remaja.
Padahal, bagi kaum pelajar menumbuhkan dan menanamkan rasa nasionalisme cukup dengan melakukan kewajiban mereka, yaitu belajar. Selebihnya ya, jangan bertindak negatif, cukup berbuat sewajarnya adalah bentuk sikap patriotik. Nggak usah dengan senjata seperti zaman dulu.
Jiwa nasionalisme ini perlu ditekankan kepada pelajar karena merekalah yang akan memegang kekuasaan di negara ini. Jadi, dengan memiliki sikap nasionalisme mereka akan tau bagaimana seharusnya memimpin bangsa agar terus berkembang dan tidak terjajah lagi.
Selain itu, penting pula mengajarkan sejarah kepada pelajar agar mereka tau asal-usul negara ini dan betapa beratnya perjuangan para pahlawan plus mengetahui jati diri bangsa. Pernyataan Lilik diakui oleh Qiqi Sylvia. Qiqi mengaku banyak dari teman-temannya acuh nggak acuh terhadap keadaan negara. Padahal, sebagai pelajar yang juga warga negara haruslah peka terhadap masalah bangsa.
Menurut siswi berjilbab ini, jiwa nasionalisme itu sangat penting karena kemerdekaan dan nasionalisme adalah hal yang saling berkaitan. Dalam mengisi kemerdekaan harus dibarengi dengan nasionalisme agar kemerdekaan tersebut nggak sia-sia. Makanya pelajar kudu berbuat hal positif. Nah, kamu setuju nggak?
Teks:Menjadi anggota Paskibra merupakan salah satu bentuk sikap nasionalisme dan juga suatu kebanggaan tersendiri dapat menjadi tim pengibar sang saka Merah Putih.
waspada.co.id
Sayap Garuda Patah!
Sayap garuda patah, kepalanya dimakan harimau malaya, 3-0 tanpa balas, tanpa belas. Dalam istilah orang Indonesia, inilah yang disebut ganyang.
Secara teknis, pertahanan Indonesia jelas menjadi titik kelemahan, terlebih sayap kiri. Tiga gol Malaysia lahir dari sebab hal tersebut. Harus diakui!
Secara mental, tiga gol mudah Malaysia meruntuhkan mental pemain-pemain Indonesia. Persoalan mental sangat sulit diatasi oleh pelatih sekalibur apa pun. Hal tersebut terjadi juga baru-baru ini ketika tim besar LA Lakers dibungkam 77-98 oleh Milwaukee Bucks di kandang sendiri karena Kobe Bryant, Lamar Odom, dan Paul Gasol frustasi. Pelatih Pill Jackson ‘tak mampu mengatasinya.
Secara agama, saya ingin mengatakan bahwa doa orang Malaysia lebih makbul dibandingkan doa orang Indonesia -itu pun kalau pembaca sekalian memercayai kekuatan doa-, sebab tidak ada sejarahnya doa koruptor diterima. Memang di Malaysia ada juga koruptor, namun tidak sesistemik Indonesia. Setidaknya itulah yang dinilai oleh Bank Dunia.
Persoalan sinar laser, saya sendiri tidak terlalu mempermasalahkannya. Tidak ada hubungannya sinar laser dengan main bola. Toh, ketika main di Senayan banyak juga pendukung Indonesia yang memancarkan sinar laser. Jadi, jangan salahkan sinar laser!
Saya orang Indonesia, tapi saya anti-nasionalisme, saya juga tidak pernah suka dengan jargon: Ganyang Malaysia! Kekalahan Indonesia harus diterima sebagai sesuatu yang wajar, faktor teknis dan mental. Olahraga tidak pernah mengenal politik dan provokator. Say No To Racism,jargon olahraga. Nasionalisme tidak ada bedanya dengan rasisme.
Selamat kepada Malaysia! Indonesia, masih ada kesempatan 2 x 45 menit membalas di Senayan. Belajarlah dari Liverpool yang membalikkan keunggulan 3-0 Ac Milan dalam waktu 6 menit.
Say No To Racism, Say No To Nationalism!
kompas.com/kompasiana
Nasionalisme pemuda Indonesia perlu segera dipupuk
Rasa bangsa sebagai bagian dari Bangsa Indonesia dikalangan generasi muda perlu terus dipupuk, disaat adanya kesan perubahan kadar dan nilai rasa nasionalisme para pemuda belakangan ini.
"Kami merasakan penurunan semangat kawan-kawan ketika menyambut peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI beberapa tahun belakangan, itu bisa diartikan tanda-tanda dan perlu disikapi agar tidak berimbas para penurunan rasa nasionalisme," kata Sandi Rustandi Adriano, seorang aktivis pemuda di Bandung.
Dia mencontohkan, suasana pergaulan kepemudaan Kampung Bojong, Kelurahan Batununggal, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung jauh berbeda saat menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan beberapa tahun lalu.
Tidak salah bila ada kesan kaum muda sekarang sebagian sudah tidak peduli lagi terhadap perjuangan para pahlawan pendahulu yang telah merebut kemerdekaan dengan banyak berkorban termasuk nyawa.
Lintas berita.com
Menurut lelaki beranak dua itu, bila kaum muda sudah tidak perduli lagi terhadap peringatan hari ulang tahun kemerdekaan negaranya, maka nasionalisme mereka pun patut dipertanyakan.
"Kita ini sudah hidup enak, hidup di alam merdeka. Apa susahnya sih sekadar menggealar sebuah kegiatan untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan negara kita sendiri sambil mengenang jasa para pahlawan," ucapnya.
Tanpa melalui jasa para pahlawan, menurut Adi bangsa Indonesia belum tentu bisa memiliki kemerdekaan dalam banyak hal, termasuk merdeka dalam mencari nafkah, menuntut ilmu, dan merdeka dalam beragama.
Ia mengaku tidak habis pikir kenapa masih ada kaum muda yang belum bisa menghargai jasa para pahlawan negara dan bangsanya sendiri.
Padahal sekarang tidak perlu angkat senjata seperti dilakukan para pendahulu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam kesempatan terpisah guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Gunungdjati Bandung Afif Muhammad, menilai kaum muda negeri ini sekarang sudah mendapatkah lebih banyak hal daripada kaum muda di zamannya.
"Rasanya dibanding zaman kita dulu, mereka sekarang sudah mendapat lebih banyak dari kita dulu, tapi mereka terlalu banyak menuntut tanpa mau berbuat," katanya.
"Kami merasakan penurunan semangat kawan-kawan ketika menyambut peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI beberapa tahun belakangan, itu bisa diartikan tanda-tanda dan perlu disikapi agar tidak berimbas para penurunan rasa nasionalisme," kata Sandi Rustandi Adriano, seorang aktivis pemuda di Bandung.
Dia mencontohkan, suasana pergaulan kepemudaan Kampung Bojong, Kelurahan Batununggal, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung jauh berbeda saat menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan beberapa tahun lalu.
Tidak salah bila ada kesan kaum muda sekarang sebagian sudah tidak peduli lagi terhadap perjuangan para pahlawan pendahulu yang telah merebut kemerdekaan dengan banyak berkorban termasuk nyawa.
Lintas berita.com
Menurut lelaki beranak dua itu, bila kaum muda sudah tidak perduli lagi terhadap peringatan hari ulang tahun kemerdekaan negaranya, maka nasionalisme mereka pun patut dipertanyakan.
"Kita ini sudah hidup enak, hidup di alam merdeka. Apa susahnya sih sekadar menggealar sebuah kegiatan untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan negara kita sendiri sambil mengenang jasa para pahlawan," ucapnya.
Tanpa melalui jasa para pahlawan, menurut Adi bangsa Indonesia belum tentu bisa memiliki kemerdekaan dalam banyak hal, termasuk merdeka dalam mencari nafkah, menuntut ilmu, dan merdeka dalam beragama.
Ia mengaku tidak habis pikir kenapa masih ada kaum muda yang belum bisa menghargai jasa para pahlawan negara dan bangsanya sendiri.
Padahal sekarang tidak perlu angkat senjata seperti dilakukan para pendahulu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam kesempatan terpisah guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Gunungdjati Bandung Afif Muhammad, menilai kaum muda negeri ini sekarang sudah mendapatkah lebih banyak hal daripada kaum muda di zamannya.
"Rasanya dibanding zaman kita dulu, mereka sekarang sudah mendapat lebih banyak dari kita dulu, tapi mereka terlalu banyak menuntut tanpa mau berbuat," katanya.
Langganan:
Postingan (Atom)