Suatu hari selepas kuliah siang itu, kami, Awan, Joko, Fajri, Cunop, Andi, Iwan dan Nova nongkrong di tempat biasa ngopi bareng. Di warung Babeh yang tak begitu jauh dari Mesjid Salman ITB di kawasan Jl. Sambung Nyawa. Kami bercerita apa saja yang terlintas dikepala, mulai dari cerita mengolok-olok dosen yang Killer sampai cerita yang tak jelas ujung pangkalnya. Cerita bertambah seru dikarenakan cuaca sore itu hujan yang tak kunjung henti menjelang magrib. Gelas kopi ketigapun dipesan demi memperhangat banyolan yang sepertinya tak ada ujungnya.
Dari sekian banyak cerita yang kami lontarkan, ada satu fenomena yang sedikit menggelitik kami semua, yaitu cerita tentang nasionalisme versus komunisme. Entah berawal dari mana, tiba-tiba kami membahas tentang lambang negara, bunyi sila Pancasila beserta lambangnya. Seorang teman tiba-tiba melontarkan pertanyaan tentang lambang sila kedua dari Pancasila. Kami semua menjawab dengan berbagai jawaban yang berbeda-beda. Ada yang menjawab lambang sila kedua tersebut Padi dan Kapas, ada yang menjawab, Pohon Beringin dan ada juga yang menjawab Kepala Banteng. Bahkan urutan gambar yang berada pada perisai yang melekat didada Garudapun kami tak hapal. Kesimpulan dari semua jawaban itu, tak satupun yang benar. Hal itu kami ketahui setelah salah seorang teman langsung mengambil inisiatif untuk membuka internet demi menjawab penasaran kami semua. Dan jawaban yang benar adalah Rantai. Awalnya kami semua tertawa dengan ketidaktahuan kami semua. Namun inilah pangkal dari perdebatan nasionalisme versus komunisme kami semua.
Pertanyaan berikutnya berlanjut pada bunyi dari sila-sila Pancasila. Masing-masing kami diberi kesempatan untuk melontarkan jawaban masing-masing. Alhasil, kami semua tidak ada yang hapal semua sila-sila Pancasila tersebut. Walaupun ada teman yang hapal bunyi semua kalimat sila-sila Pancasila tersebut, tetapi dia mengucapkannya tidak sesuai dengan urutan yang benar. Lalu dari sisi lain seorang teman memecah kebuntuan jawaban dengan sebuah pertanyaan baru. “Komunis lambangnya apa”? Kata teman tersebut, dan serentak hampir dari kami semua menjawab Palu dan Arit. Sejenak kami terdiam dan tiba-tiba teman yang melontarkan pertanyaan tadi mengeluarkan kata-kata yang “menyentuh kalbu”, yaitu “Kalian semua Komunis” katanya sambil tertawa. Kamipun tertawa semua dengan paradoks yang barusan terlontar.
Pertanyaan berikutnya mengenai arti dari lambang negara yaitu Burung Garuda. Kami semua tahu bahwa lambang tersebut merupakan representasi dari hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Tanggal 17 dilambangkan dengan jumlah bulu sayap burung Garuda, bulan 8 (Agustus) dilambangkan dengan jumlah bulu ekor burung Garuda dan tahun 45 dilambangkan dengan jumlah bulu leher burung Garuda. Setelah kami semua dapat menerjemahkan lambang tersebut, seorang teman memberikan pertanyaan yang cukup mengejutkan kami semua, “Apa yang terjadi jika seandainya negara kita tidak merdeka tanggal 17 Agustus 45? Bagaimana jika seandainya proklamasi itu dikumandangkan tanggal 2 Januari”? Kami semua terdiam memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Kami saling melongo sambil membayangkan jumlah bulu ekor dan sayap burung Garuda. Singkat cerita kami semua tidak tahu jawaban dari pertanyaan teman tadi. Lalu teman tersebut bertanya kepada kami, apakah lambang negara akan berganti dengan Capung yang mempunyai jumlah sayap dua dan ekor satu. Serentak kami semua tertawa terbahak-bahak.
Tanpa mengurangi rasa hormat kami terhadap lambang negara yang sangat “disakralkan” tersebut, semua itu terlontar tanpa sengaja dan tanpa ada tendensi didalamnya. Kami semua sadar, bahwa ingatan kami tentang Pancasila, Lambang Negara dan semua unsur yang terkait dengan hal tersebut mulai pudar tetapi bukan menjadi patokan rasa nasionalisme kami telah luntur. Namun lewat banyolan itulah kami sadar bahwa generasi muda yang bakal menjadi pewaris bangsa ini perlu selalu dipupuk rasa nasionalisme tersebut. Kamipun yakin kalau pertanyaan-pertanyaan ringan di atas tadi, kalaupun dilontarkan kepada anggota dewan yang terhormat, mungkin kebanyakan dari mereka juga akan lupa tentang sila dan lambangnya. Dan bukan berarti kami semua komunis yang hanya berpatokan pada lambang yang kami semua mengetahuinya. Kamipun berpikir, apakah anak SD di seluruh Indonesia saat ini masih harus menghapalkan bunyi dan lambang dari pancasila sebelum masuk kelas masing-masing?
sumber : http://cunop.wordpress.com/2010/03/28/nasionalisme-vs-komunisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar