Minggu, 26 Desember 2010

Sepakbola dan Nasionalisme

Bulan ini Indonesia mendadak dilanda demam sepakbola, meskipun piala dunia 2010 sudah berakhir beberapa bulan lalu. Itu terjadi setelah kemenangan berturut-turut dalam bapak penyisihan piala AFF. Diawali dari kemenangan besar 5-1 atas Malaysia, membantai Laos 6-0 dan terakhir menandukkan Thailand 2-1 jelas tidak bisa dianggap sebagai keberuntungan. Berita-berita di koran dan televisi mulai diwarnai dengan eforia prestasi sepakbola kita yang selama ini sangat terpuruk.
Berbeda dengan demam sepakbola di musim Piala Dunia, di mana dukungan masyarakat terpecah bagi tim-tim luar negeri yang berlaga, kali ini dukungan seluruh rakyat terpusat untuk timnas Indonesia. Kalau dulu aku sempat kesulitan, bahkan belum pernah, menemukan kaos timnas terjual dipinggir jalan, belakangan ini dengan mudah aku bisa menemukan kaos timnas sepakbola kita di pinggir jalan. Malahan menjelang pertandingan leg kedua antara Indonesia melawan Filipina diberitakan adanya antrian pedagang, bukan pembeli, yang ingin membeli kaos timnas untuk dijual kembali karena tergiur keuntungan dua kali lipat. Ini akibat antusiasme masyarakat Indonesia, baik di Jakarta maupun di luar ibu kota untuk memberi dukungan kepada timnas. Selain itu, di kampung juga mulai terlihat anak-anak bermain sepakbola, dan sesekali meneriakkan yel-yel “Indonesia”, “Garuda di dadaku”, dan menyebut nama-nama pemain timnas seperti Gonzales, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas dan lainnya.
Antrian masyarakat untuk bisa menyaksikan pertandingan secara langsung pun tak terelakkan, meskipun harga tiket pertandingan melambung. Beberapa kalangan menganggap tindakan PSSI menaikkan harga tiket ini dirasa tidak mendukung timnas dilihat dari antisiasme masyarakat dalam mendukung timnas. Namun PSSI tetap diam saja, malah dalam pertandingan kedua sepertinya tiket dinaikkan. Tapi tetap saja, dukungan masyarakat  bagi sepakbola Indonesia tidak surut di tengah kekacauan dalam tubuh PSSI. Kekacauan itu masih terlihat dalam penjualan tiket untuk laga kedua semifinal AFF ini. Para pendukung timnas yang sudah berlelah-lelah mengantri dengan tertib akhirnya gagal mendapat tiket pertandingan karena loket tidak segera dibuka. Sangat disayangkan, anarkisme tidak bisa dihindari. Masyarakat mulai melakukan perusakan kantor PSSI dan juga membakar bendera PSSI tersebut sebagai wujud kekecewaan. Tindakan anarkis jelas tidak bisa dibenarkan apapun alasannya, namun PSSI seharusnya bisa introspeksi.
Sebagai satu-satunya organisasi yang menaungi sepakbola nasional, meskipun tanpa campur tangan pemerintah, harusnya PSSI bisa lebih profesional dan mengutamakan nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri, kebangkitan sepakbola nasional ini turut membangkitkan rasa nasionalisme dan persatuan masyarakat. Seharusnya PSSI bisa lebih mengakomodir euforia masyarakat ini dengan banyak memberi kemudahan, bukan hanya mencari untuk sebesar-besarnya. Setidaknya ada dua hal yang seharusnya diperbaiki dari PSSI terkait penyelenggaraan pertandingan AFF ini, juga untuk pertandingan-pertandingan selanjutnya.
Pertama dalam penjualan tiket. Penjualan yang dilakukan secara terpusat di Senayan jelas menimbulkan antrian yang banyak dan bisa memacu keributan. Ada baiknya kalau tempat penjualan tiket bisa disebar di berbagai tempat dan sebagian lagi dilakukan secara online. Tentu mekanismenya harus ketat untuk menghindari praktek per-calo-an yang masih menjadi penyakit masyarakat. Siang tadi sempat menyaksikan adanya orang yang dihajar massa gara-gara diduga sebagai calo. Soalnya sekalipun tiket dijual terpusat, praktek percaloan tetap tidak bisa dihindari, disinilah perlu kerjasama dengan aparat kepolisian untuk mencegah hal ini terjadi.
Hal kedua yang perlu diperbaiki dari PSSI adalah dukungan bagi penonton yang bukan hanya penggemar bola namun juga pendukung timnas yang sedang bertanding. Bagi banyak pihak, dukungan ini adalah wujud nasionalisme masyarakat. Dari pengalaman laga kedua semifinal antara Indonesia - Filipina, jelas bahwa tidak semua pendukung akan bisa masuk ke stadion. Alangkah baiknya kalau di sekitar stadion dibuat semacam layar tancap sehingga masyarakat juga bisa menyaksikan pertandingan meskipun tidak secara langsung di dalam stadion. Kalau sewaktu demam piala dunia banyak sekali acara nonton bareng digelar, seharusnya acara inipun bisa digelar di berbagai tempat di ibukota untuk mengurangi kepadatan penonton di senayan. Oke, ini memang bukan tugas PSSI, namun sebagai pengayom persepakbolaan nasional, seharusnya mereka juga memikirkan hal ini. Pastilah tidak sulit untuk menggandeng sponsor yang mau menjadi mitra, apalagi kalau ditambah dengan alasan nasionalisme.
Tidak bisa dipungkiri, olahraga bisa membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat. Tidak hanya sepakbola, namun juga bulutangkis dan tinju. Sayang sekali prestasi kita setelah reformasi bergulir nampaknya demikian merosot meskipun dukungan masyarakat tidak pernah surut. Memang, waktu final piala Asia terakhir, banyak masyarakat yang begitu kecewa terhadap timnas yang gagal di penyisihan grup meskipun sempat menang atas Bahrain. Namun saat ini, meskipun hanya di kancah regional Asia Tenggara, terbukti sepakbola bisa membangkitkan kembali antusiasme masyarakat dan semangat nasionalisme. Kebanggaan akan merah putih dan garuda terasa membara. “Garuda di dadaku”, akan terus bergema sampai penghujung tahun ini. Semoga saja kali ini Indonesia bisa juara!






detik.com
Tags: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar